Siang ini cuacanya terlihat agak mendung. Matahari tidak bersinar cerah
seperti kemarin hari. Menurutku ada yang aneh dengan cuaca akhir-akhir ini.
Sebentar-sebentar hujan deras, tapi besoknya matahari bersinar terang. Orang bilang, itu karena pemanasan global, ada juga yang
tidak percaya pada pemanasan global. Kalau aku, percaya-percaya saja,
tapi aku tidak terlalu banyak memikirkannya. Sebagai mahasiswa
super-sibuk, yang aku pikirkan hanyalah masalah pelajaran. Sebagai
mahasiswa super-sibuk, yang aku tunggu hanyalah akhir pekan!
Dan sekarang adalah akhir pekan. Bukan akhir pekan biasa, ini adalah
awal dari hari libur yang berturut-turut. Besok hari Sabtu, kuliah
libur. Hari Minggu sudah pasti libur. Hari Senin, Pak Dosen sudah bilang
kalau dia tidak bisa datang, itu artinya libur tiga hari. Dan aku sudah
mengerjakan semua tugas laporan, makalah, praktikum, dan segala antek-anteknya. Three days of freedom, yay!
Sepulang kuliah sore
ini, aku berhenti di sebuah rental DVD yang tidak begitu terkenal di
dekat tempat kost-ku: Watcher's DVD. Aku rasa pasti adalah ide yang
bagus untuk menghabiskan hari libur dengan menonton film. Walau tempat
rental ini terlihat besar, tapi harga sewanya sangat murah, dan tidak
perlu mendaftar menjadi anggota segala. Sudah cukup sering aku menyewa
film di tempat ini, dan aku menyadari kalau kebanyakan film yang
disewakan di sini adalah copy bajakan. Tidak masalah buatku.
Tok! Tok!
Aku mengetuk pintunya sambil masuk ke dalam, rupanya sedang sepi, cuma Mbak Atiek yang menjaga counter.
“Mas Ray! Selamat sore!” ucapnya sambil tersenyum melihat kedatanganku.
Mbak Atiek adalah pemilik rental The Watcher. Sebenarnya Mbak Atiek
menjalankan usaha ini berdua dengan Mas Rojib, kakaknya. Walau aku
selalu memanggilnya dengan sebutan “Mbak”, sebenarnya ia seumuran
denganku, hanya saja entah kenapa aku selalu merasa kalau ia lebih tua.
Sedangkan Mas Rojib beberapa tahun lebih tua dariku, sepertinya sebentar
lagi akan lulus kuliah. Mungkin ia sedang sibuk, makanya akhir-akhir
ini jarang kelihatan.
“Mbak, ada film yang baru nggak?” tanyaku sambil melihat-lihat rak-rak DVD dan VCD.
“Ada, film horror mau?”
“Selain horror?”
“Hmm ... Pasal-Pasal Cinta?”
“Yah, itu mah udah basi! Film Indonesia yg lain ada yang baru?” Ia tampak memeriksa katalog yang ada di tangannya.
“Ada, beberapa. Yang ini nih, judulnya OD.”
“OD?” aku duduk di dekatnya sambil memperhatikan sampul film itu.
“Over Dosis.”
“Ceritanya tentang apa ya?”
"Yah ..., tentang pergaulan bebas, seks gitu Mas,” Mbak Atiek terlihat malu-malu, aku jadi geli sendiri.
“Ah, kayanya film murahan, paling cuma ikut-ikutan Antartican Pie gitu,” aku letakkan lagi sampul film itu,
“Yang lain ada nggak?”
“Ada nih, film religi, yang buatnya sutradara terkenal. Baru diputer di bioskop kok, judulnya Waria Berkalung Keset. Gimana?”
“Males ah, paling kaya sinetron.”
“Kalo yang ini? Judulnya Because of Love.”
“Judulnya aja udah norak, sok kebarat-baratan. Mendingan saya nyewa
film barat aja deh sekalian,” ucapku sambil beralih ke rak-rak DVD
bagian film barat.
Beberapa menit aku memilh-milih, akhirnya
kuputuskan untuk menyewa lima judul film barat: dua film misteri, satu
action, dan dua komedi. Segera kubawa sampul film-film itu ke Mbak Atiek
di counter.
“Ini aja?” tanyanya.
“Iya, ini aja.”
Ia segera mencatat judul-judul film itu dan mengambilkan beberapa
piringan dari sebuah lemari besar. Ia memasukkan piringan-piringan itu
ke dalam sampul-sampul CD berwarna putih polos bertuliskan “The Watcher
DVD”, kemudian meletakkan sampul aslinya kembali ke rak yang ada tulisan
“Keluar”.
Setelah membayar, akupun pulang ke tempat kost
sambil membawa lima keping DVD yang baru kusewa. Setelah meletakkan tas,
aku segera meraih telepon genggam.
“Halo? Eh, Don. Ntar
malem lo ada acara nggak? Gimana kalo ntar lo ajak anak-anak nonton DVD
di kost-an gue? Apa? Bukan, bukan film Hentai. Oh, gitu. Jadi lo nggak
bisa? Hah, kalo film Hentai bisa? Suek lo!!”
“Halo? Oi, Ben, ntar malem lo ada acara nggak? Gue rencananya mau ngajakin
anak-anak nonton film di kost-an gue, gimana? Oh, lo udah ada janji ama
cewek lo? Ya udah, nggak apa-apa. Si Dodon juga nggak mau tuh. Apa?
Ngajak cewek gue aja? Males ah, kalo ketahuan Ibu Kost, bisa repot
nanti.”
“Halo? Poltak ya? Lagi ngapain lo? Ntar malem nonton
film yo! Di kost-an gue. Belom tau sih mau ngajak siapa aja, soalnya Dodon sama Beben katanya nggak bisa. Kalo lo gimana? Hah? Kerjaan? Kerjaan
apaan? Besok kan libur. Bisnis? Bisnis apa? Em-El-E... Oh enggak deh. Makasih,
kayanya gue nggak tertarik. Iya, bener. Eh sorry, HP gue udah low-bat
nih. Bener kok. Kalo misalnya gue berubah pikiran pasti gue hubungin.
Eh, dikit lagi mati nih. Udah dulu ya.”
“....”
“Halo, Dina. Lagi ngapain, Say? Oh, gitu. Nanti malem kamu ada acara
nggak? Mmmm ... bukan sih, aku juga lagi males jalan keluar nih. Gimana
kalo nonton film bareng-bareng aja? Bukan, bukan di bioskop, kan aku
udah bilang kalo aku lagi males jalan. Ya di kost-an aku. Haaah ... kamu
jangan mikir yang jelek-jelek dulu dong, film biasa kok, film action
sama komedi. Sumpeh, bukan yang aneh-aneh. Iya, aku tau ini kosan cowok.
Caranya? Ya, kamu kan tinggal nyamar jadi cowok,” ... tuut ... tuut ...,
“halo? Dina?”
Dengan rasa kesal, aku langsung membanting
handphone ku – ke atas kasur tentunya. Menyebalkan sekali kalau harus
nonton film sendirian. Memang ini salahku juga, harusnya aku memastikan
dulu apakah ada yang bisa diajak nonton atau tidak.
Kuambil
kantong plastik berisi film-film yang tadi kusewa, kuperiksa satu
persatu. Kira-kira yang mana yang akan kutonton lebih dulu ya? Tunggu
dulu. Tiba-tiba saja perhatianku teralih pada satu keping DVD yang
tampak aneh. Kuperhatikan label dan bagian bawahnya. Ini bukan salah
satu DVD yang kusewa tadi. Kalau melihat dari labelnya, ini kan DVD RW
yang biasa dipakai untuk merekam. Apa ini DVD bajakan yang lupa diberi
label ya? Tapi di labelnya tertulis dengan spidol hitam, “Tsumi”.
Seingatku aku tidak meminjam film yang berjudul “Tsumi”, pasti Mbak Atiek
salah mengambil DVD. Kuperiksa judul-judul film yang lain, ternyata
memang ada satu film yang kurang. Film laga berjudul “Forbidden
Republic”, yang tadi kupilih tidak ada! Pasti tertukar dengan film ini.
Makin menyebalkan saja.
Dengan terpaksa, tiga hari libur
berturut-turut itu kuhabiskan untuk menonton film di kamar, sendirian.
Film-filmnya memang lumayan seru dan menghibur, tapi aku malah merasa
kesepian. Teman-temanku hampir semuanya sudah punya acara masing-masing.
Sedangkan Dina, pacarku, masih ‘ngambek’ gara-gara kejadian di
telepon, waktu aku menyuruh dia menyamar jadi laki-laki agar bisa masuk
ke kamarku.
Hari Selasa pun tiba. Pulang kuliah, aku
berencana untuk mengembalikan DVD yang kusewa. Memang, dari kelima film
itu masih ada satu yang belum kutonton, yaitu film salah ambil itu.
Selain karena tidak ada waku, aku juga tidak tertarik untuk menontonnya.
Buat apa menonton film yang tidak kuinginkan? Kalau kuberitahu Mbak Atiek, mungkin aku boleh menukarnya dengan film lain, soalnya ini kan
murni kesalahan dia.
Aku tiba di depan The Watcher Rental DVD.
Tutup. Pintunya tertutup rapat, tak ada tanda-tanda ada orang di
dalamnya. Aneh sekali, tidak biasanya mereka tutup di hari kerja begini.
Apa mungkin Mbak Atiek dan kakaknya sama-sama sedang sibuk, sehingga
tidak ada yang menjaga counter? Ah, sudahlah. Karena ini bukan salahku,
seharusnya aku tidak dikenakan denda. Akupun segera pulang, dan berniat
untuk kesini lagi besok.
Esoknya, The Watcher masih tutup.
Karena khawatir dikenai denda, aku mengecek tempat itu hampir setiap
hari. Sampai sudah dua minggu berlalu, tak satu hari pun mereka buka.
Apa mereka sudah pindah ya? Ataukah mereka bangkrut dan tidak bisa
membayar sewa bangunan? Sebenarnya aku merasa tidak enak juga, tapi mau
bagaimana lagi? Aku tidak tahu nomor telepon salah satu dari mereka, aku
juga tidak tahu bagaimana cara menghubungi mereka.
Dengan
putus asa, kubiarkan saja film-film sewaan itu tergeletak di sudut kamar
tanpa berusaha mengembalikannya. Bagaimanapun juga, ini bukan salahku,
mereka pindah sebelum aku sempat mengembalikannya.
Beberapa
minggu kemudian, saat hari libur dan cuaca di luar sana sedang hujan
deras, aku tidak ada kerjaan dan hanya tidur-tiduran di kamar. Rasanya
membosankan sekali, aku tidak tahu harus melakukan apa. Sambil
memandangi langit-langit kamar, aku bersenandung kecil. Tiba-tiba tanpa
sengaja tanganku menyenggol setumpuk DVD di samping tempat tidurku. Aku
memeriksa benda-benda itu. Film-film dari The Watcher yang belum aku
kembalikan sampai sekarang. Kuambil salah satu keping DVD itu. Oh iya,
film berjudul “Tsumi” ini kan belum sempat aku tonton. Walau rasanya aku
tidak bergairah sama sekali untuk menontonnya, tapi aku segera bangkit
dan menyalakan komputer. Daripada tidak ada kerjaan, pikirku. Siapa tahu
ini DVD pribadi milik Mbak Atiek? Aku tertawa geli sambil mulai
berpikir agak ngeres.
Kumasukkan DVD aneh itu, dan kubuka
program Media Player di komputerku. Kutekan tombol “Play” di monitor
dengan menggunakan mouse. Beberapa detik kemudian, sesuatu yang ada di
dalam DVD itu pun mulai muncul di hadapanku.
Mataku terbelak, keringat dingin keluar dari seluruh tubuhku.
Sementara jantungku serasa berhenti berdetak, kepalaku terasa pusing bukan main. Ini benar-benar tidak masuk akal!
Hujan deras mengguyur jalanan dan membasahi tubuhku. Seminggu yang lalu
aku menghilangkan payungku, dan kini aku harus berlari di tengah
derasnya tikaman hujan. Rambut dan pakaianku basah kuyup, sementara
tanganku berusaha melindungi sebuah DVD yang kubungkus di dalam plastik.
Aku berlari secepat mungkin, dengan ketakutan yang luar biasa, ke arah
rental DVD The Watcher. Aku harus mendapat penjelasan atas semua ini. Ini
adalah hal paling menakutkan yang pernah kualami dalam hidupku.
TOK! TOK! TOK!
Kuketuk pintu The Watcher. Walau tempat itu terlihat tutup dan kosong,
aku tak peduli, aku harus mencobanya dulu. Kuketuk lagi beberapa kali,
tetap tak ada jawaban.
“Mbak Atiek! Mas Rojib!” aku
berteriak sekeras mungkin, siapa tahu salah satu dari mereka ada di
dalam.Tetap tak ada jawaban apapun dari dalam. Tak ada suara apapun
selain suara hujan yang menghantam jalanan yang sepi.
Tubuhku terasa lemas, nafasku terengah-engah karena berlari tadi. Kuusap
wajahku yang basah oleh air hujan, pelan-pelan aku terduduk di depan
pintu itu. Kutatap DVD di balik kantong plastik yang kubawa. Tatapanku
menjadi kosong, ada air yang menetes dari kedua mataku. Apakah itu air
hujan? Ataukah air mata? Kalau itu air mata, apakah artinya aku
menangis? Menangis karena apa? Karena takut? Karena malu? Karena
bingung?
Sesaat setelah kutekan tombol “Play”, sesuatu yang
tak pernah terbayangkan muncul di layar komputerku. Memang, seperti
dugaanku, film berjudul “Tsumi” itu adalah sebuah film rekaman pribadi.
Saat gambar pertama muncul, aku pun dapat meyakini kalau film itu
diambil dengan menggunakan handycam, bahkan tanggal dan jam pengambilan
gambarnya pun masih tercantum di layar. Tapi, kengerian yang sebenarnya
baru muncul ketika aku menyadari siapa manusia yang menjadi objek di
film itu.
Yang pertama kali kulihat di layar adalah ... aku.
Ya, maksudku aku benar-benar ada di layar! Aku ‘ada’ di dalam film itu!
Di dalam film itu aku berada di sebuah ruangan yang tidak terlalu
besar, dan tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa tempat itu
adalah kamar kost-ku sendiri. Bedanya, kamarku yang ada di film itu
terlihat masih rapi dan agak kosong. Aku ingat! Ini adalah saat aku baru
pindah ke tempat ini! Sesaat setelah orangtuaku pergi, dan aku tinggal
sendirian. Kulihat apa yang aku lakukan di dalam film itu. Aku mengambil
setumpuk majalah porno yang kusembunyikan di dalam kardus, dan
kuletakkan di atas lemari.
Adegan berpindah, tanggal dan
waktu yang tertera di layar pun ikut berubah. Kini yang aku saksikan
adalah sosok aku yang sedang asik menonton film biru di depan komputer
di dalam kamar, sendirian. Aku masih ingat kejadian itu, sudah agak lama
juga. Film biru itu masih kusimpan sampai sekarang.
Bukan
saatnya mengingat hal itu! Ini menakutkan! Seseorang merekam kegiatanku
di dalam kamar! Kuamati sudut pengambilan gambar di film itu, aku tahu
dari mana film ini direkam. Pasti seseorang memasang kamera tersembunyi
di kamar ini! Tanpa menghentikan film, aku segera melompat ke atas
kasur, memeriksa sisi atas dinding yang dihimpit oleh lemari pakaian.
Kalau melihat sudut pengambilan gambar di film, aku yakin di sinilah
kamera tersembunyi itu seharusnya terpasang. Kuamati tempat di sekitar
dinding itu, aku tak menemukan suatu benda apapun yang mencurigakan,
hanya sebuah noda hitam di dinding seperti bekas terbakar.
Aku menoleh lagi ke layar komputer, ke arah film yang masih berlanjut.
Tiba-tiba saja kakiku lemas, seluruh tubuhku merinding. Ternyata
‘pengawasan’ itu bukan hanya terjadi di kamarku saja! Tampaknya
seseorang mengikutiku dan merekam setiap kelakuan burukku!
Adegan yang kulihat di monitor sekarang adalah aku yang berada di teras
sebuah rumah. Aku tahu, ini adalah rumah Dina. Aku duduk di sebelah Dina dan merangkul pundaknya. Beberapa saat kemudian terlihat adegan
aku berusaha mencium bibir gadis itu. Dina menolak. Ya, aku masih ingat
dengan jelas kejadian waktu itu. Watku itu aku datang ke rumah Dina
saat kedua orangtuanya sedang tidak ada di rumah, dan aku lepas kendali,
mencoba memanfaatkan keadaan. Terlihat adegan saat aku berusaha merayu Dina. Aku terduduk lemas melihat tayangan itu. Ada bagian di dalam
diriku yang merasa malu menyaksikannya.
Beberapa detik
kemudian, adegan berpindah lagi. Kali ini di sebuah tempat parkir yang
sepi, hanya ada aku di antara barisan sepeda motor. Terlihat aku
berjongkok di samping sebuah sepeda motor berwarna merah. Aku
mengeluarkan sebuah paku besar dan menusukkannya ke ban sepeda motor
itu. Aku ingat, itu adalah sepeda motor Vandy. Waktu itu aku cemburu pada Vandy karena ia ingin merebut Dina dariku, maka sepulang kuliah aku
mengempesi ban sepeda motornya.
Adegan berubah lagi. Masih
di tempat parkir, namun kini di tempat parkir mobil. Terlihat aku
mengeluarkan sebuah pisau kecil dari saku celanaku, lalu aku
menggoreskan pisau itu ke sebuah mobil berwarna hitam, membuat sebuah
goresan yang dalam dan panjang melintasi bagian samping tubuh mobil itu.
Itu adalah mobil Pak Galuh, salah seorang dosen di kampusku. Waktu itu
adalah akhir semester, aku marah karena ia menuduhku sering membolos,
padahal aku sudah memberikan surat izin sakit, tapi ia malah mengira
kalau surat itu palsu. Akhirnya aku tidak lulus di mata kuliah itu, dan
aku balas dendam dengan merusak mobilnya.
Sekali lagi adegan berganti, memperlihatkan aku yang sedang bersama teman-temanku.
“Cukup!” aku berteriak sendirian seperti orang kesetanan.
Aku segera meraih mouse dan menekan tombol “Stop”. Film itu berhenti.
Aku tidak tahan lagi melihat semua ini, amat menakutkan. Keringat dingin
membasahi tubuhku ketika aku mengeluarkan DVD itu dan mematikan
komputer.
Hujan deras tak juga mau berhenti. Hujan itu amat
deras, seakan merayakan ketakutan dan ketidakberdayaanku saat ini. Aku
masih terduduk lemas di depan pintu The Watcher yang masih juga belum
menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Kali ini aku sudah dapat
memastikan kalau yang mengalir di pipiku ini adalah air mata. Kugunakan
tanganku untuk menyekanya. Aku harus tetap tenang dan berpikir rasional,
pikirku.
Kira-kira siapa yang bisa merekam segala
aktivitasku seperti itu? Apakah satelit? Tapi apa iya, satelit bisa
melihat menembus tembok? Lagipula jelas-jelas kalau itu adalah rekaman
handycam. Atau mungkin ada seorang mata-mata profesional yang dapat
memasang kamera tersembunyi di dalam kamarku, dan mengikuti
gerak-gerikku sambil menenteng handycam? Tapi untuk apa? Aku kan bukan
penjahat yang harus dimata-matai? Atau mungkin ... wartawan? Oh iya,
mungkin paparazzi? Mustahil! Aku bukan selebritis!
Setiap
kemungkinan yang aku pikirkan tampak tidak masuk akal. Di tengah
kebingunganku, aku teringat kata-kata ibuku ketika aku masih kecil dulu.
“Nanti ya, Ray, di akhirat semua orang bakal dikasih liat semua perbuatan dosanya,” ucap ibuku kepadaku yang waktu itu masih SD.
“Dikasih liat, maksudnya gimana, Ma?” tanyaku.
Aku ingat, waktu itu aku sedang persiapan ujian pelajaran Agama di sekolah, ibuku bercerita macam-macam.
“Iya, dikasih liat. Di akhirat ada layar besar lho, kaya di bioskop.
Terus orang itu bakal disuruh nonton jadinya dia nggak bisa bohong
lagi.”
“Lho, kok bisa? Emangnya siapa yang ngerekam filmnya, Ma?”
“Ya ampun, Ray, gimana mau dapat nilai bagus nih ujiannya? Masa gitu
aja kamu lupa? Kan udah Mama ceritain, kalau di samping kanan dan kiri
setiap orang itu, ada malaikat yang selalu mengawasi dan mencatat
perbuatan kita!”
JGERR!!!
Sebuah suara halilintar yang
amat keras memecah lamunan tentang masa kecilku. Aku kembali tersadar,
kini aku ada di depan pintu The Watcher yang tak juga terbuka. Hujan masih
terus turun. Apakah aku duduk terdiam di sini untuk menunggu hujan
sampai reda? Ataukah aku duduk terdiam karena terlalu lemas untuk
berdiri?
Tiba-tiba seorang ibu-ibu berpayung berhenti di
depan teras bangunan itu. Tampaknya ia heran melihatku yang berada di
sini dengan pakaian yang basah kuyup.
“Dik, nyari siapa? Nyari Mbak Atiek ya?”
Aku berusaha untuk bangkit dan menjawab pertanyaan ibu itu, “Iya, Bu. Ibu tau sekarang Mbak Atiek atau Mas Rojib ada dimana?”
“Saya juga nggak tau. Mereka nggak bilang pindah kemana. Kata anak-anak
yang suka nongkrong di deket sini sih, rental ini udah disewa orang
lain dan sebentar lagi mau dijadiin rumah makan.”
Aku nyaris putus asa mendengarnya. Ternyata percuma saja aku bolak-balik ke tempat ini, aku tak akan menemukan mereka di sini.
Beberapa menit setelah ibu itu pergi, hujan mulai reda dan hanya
menyisakan gerimis. DVD “Tsumi” itu masih kupegang erat di balik kantong
plastik yang basah. Di dalam hatiku, ada keinginan untuk mencari
keberadaan Mbak Atiek dan Mas Rojib. Mungkin saja mereka tahu asal-usul
rekaman ini.
Aku melangkah keluar dan berniat kembali ke
tempat kost. Genangan air menghiasi setiap langkah kakiku. Hujan sudah
berhenti sekarang, tapi langit masih mendung. Saat itulah mereka berdua muncul. Ya, mereka adalah Mas Rojib dam Mbak Atiek. Wajah mereka terlihat datar dan tidak enak untuk dipandang. Entah kenapa kaki ku terasa bergerak sendiri - membuatku mundur beberapa langkah kebelakang dengan tak teratur - aku pun terjatuh.
"Apa kau sudah mengakuinya?" mereka berbicara bersamaan.
"A-Apa maksudnya ini?" Suaraku terdengar gemetar, namun sebenarnya aku mencoba berteriak kepada mereka.
"Rayhan Maulana... Apa kau lupa?"
Lagi-lagi mereka berbicara bersamaan, kini suara mereka mulai bergema di pikiranku. Berbagai gambaran aneh bermunculan didalam kepalaku seiring gema suara itu. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak untuk mendengar kalimat selanjutnya. Jadi, Aku menutup kedua telinga dan terus meneriakan kata "Diam!". Namun mereka tampak tak perduli. Aku sudah tahu apa yang hendak mereka katakan, sebelum akhirnya mereka sendiri yang mengatakannya...
"Kau sudah mati."