Cerita Bersambung

Baca Cerita Bersambung terbaru yang seru dan menarik disini! - ethereal-horizon.blogspot.com.

Cerita Pendek

Baca Cerita Pendek terbaru yang seru dan asyik disini! - ethereal-horizon.blogspot.com.

Science Fiction

Baca kisah bergenre Fiksi Ilmiah disini! - ethereal-horizon.blogspot.com.com.

Supranatural

Jelajahi hal-hal yang berbau mistis! - ethereal-horizon.blogspot.com.com.

Light Novels

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, May 26, 2017

Kolak Pisang Spesial

 

 

Bahan:

10 buah pisang raja / pisang kepok (kupas dan potong serong)
2 buah nangka
350 gr ubi kuning
150 ml Santan kelapa
1 liter air putih
6 sdm gula pasir
6 sdm gula merah
2 lembar daun pandan
Fanili 1/4 sendok teh
Santan siap saji
Garam secukupnya (agar rasanya gurih)

Cara Membuat:

  1. Rebus air bersama dengan ubi kuning, sampai ubi lunak.
  2. Masukan santan, gula pasir, gula merah, garam, vanili, dan daun pandan. Gunakan api kecil dan aduk perlahan.
  3. Masukan potongan pisang, tunggu sebentar
  4. Kolak pisang siap disajikan.
Sajikan hangat. Menu kolak pisang diatas pastinya sangat cocok untuk menu berbuka Bunda dan keluarga, buah pisangnya yang nikmat serta ubi kuningnya yg lunak dan santannya yg gurih pastinya akan membuat Bunda dan keluarga ketagihan dirumah.

Selamat menunaikan ibadah puasa, Salam! :D

Tumis Brokoli dan Telur Asin

 

 

Bahan:

  • 250 gr brokoli, potong per kuntum
  • 1 sdt air jeruk nipis
  • ½ sdt minyak wijen
  • Garam secukupnya
  • ¼ sdt bubuk merica
  • 100 gr tepung meizena
  • ¼ sdt bubuk cabai
  • Minyak untuk menggoreng
  • 1 sdm margarin
  • 2 siung bawang putih, cincang halus
  • ½ buah bawang bombay, iris
  • 2 buah cabai merah besar, buang bijinya, cincang halus
  • 1 sdm saus tiram
  • ½ sdt gula pasir
  • 2 butir telur asin matang, haluskan

Cara Membuat:

  1. Lumuri brokoli dengan air jeruk nipis, minyak wijen, garam dan merica bubuk
  2. Campurkan tepung maizena, garam dan bubuk cabai. Gulingkan brokoli satu persatu hingga berbalut rata. Goreng dengan minyak panas hingga kecokelatan, angkat. Sisihkan.
  3. Panaskan margarin, tumis bawang putih dan cabai merah, saus tiram, gula pasir, telur asin dan brokoli goreng, aduk rata. Masak sebentar, angkat.
Sangat mudah bukan membuatnya, yang pasti kandungan seporsi Tumis Brokoli Telur Asin sangat baik untuk anda. Selamat memasak :)

Smile For Me (Episode 1)



Smile For Me

Manusia memiliki mimpi.
Ada yang mengejar dan mewujudkannya,
ada yang mundur dan membuangnya,
ada pula yang diam dan hanya menyimpannya selama sisa hidupnya.
Jika itu Luna Prisha, mungkin dia adalah tipe yang terakhir.

First

Hari ini memiliki cuaca yang cerah dengan mentari yang menyebarkan kehangatan melalui udara, pohon-pohon sedikit bergerak karena tertiup angin pagi, menambah sejuk udara yang dihirup setiap orang. Walau sebenarnya, udara di Ibukota ini sudah tercemar oleh polusi.
Kondisi jalan sudah ramai dengan kendaraan dan pejalan kaki. Kau bisa melihat segerombolan anak-anak SD pergi ke sekolah bersama-sama, juga banyak orang-orang berpakaian rapi terduduk di bangku sebuah Halte dengan wajah tidak sabar.
Pukul 06.50 di depan sebuah sekolah, seorang gadis berseragam abu-abu terlihat  turun dari sebuah mobil sport. Dia berbicara sebentar kepada pengemudi mobil itu, wajahnya tampak seperti sedang merajuk. Beberapa saat kemudian mobil itu pergi, gadis itu berjalan santai memasuki gerbang sekolah. Nama ‘SMA Harapan Negeri’ terukir di atas sana. Dia mendatangi Pos Security dan berbicara dengan salah seorang petugas yang sedang berjaga saat itu. Rupanya dia ingin diantar ke ruang guru karena ia tidak tahu letaknya. Hal itu mengungkapkan bahwa dia bukanlah salah satu murid dari sekolah ini. Mungkin saja dia murid pindahan atau semacamnya.
Sambil merapikan rambutnya yang diikat “Twintail” ia berjalan mengikuti petugas Secutity, wajahnya ia tundukkan ke bawah sambil sesekali memandang ke arah depan, bibirnya ia kerutkan secara gugup, tangannya menggenggam tali tas berwarna hitam yang ia gantungkan di bahu sebelah kiri. Ia memeriksa seragamnya untuk memastikan kalau penampilannya sudah benar-benar rapih.
Ahh, padahal hanya menuju ke ruang guru, tapi aku sudah gugup sampai seperti ini. Mungkin itulah yang dipikirkannya saat itu.



Keadaan di luar gedung sekolah sudah mulai sepi, sepertinya jam pelajaran baru saja dimulai. Gadis itu kini berada di depan sebuah kelas bersama dengan seorang wanita berpakaian rapi dan berkacamata, tertera angka 12-3 di pintunya, mungkin ini menjadi kelas yang akan ia tempati di sekolah ini.  Suara gaduh yang terdengar dari luar kelas mendadak berhenti ketika sosok wanita berkacamata itu memasuki ruangan. Ia meletakan beberapa buku diatas meja, kemudian menatap seisi kelas dengan wajah serius. Dilihat dari penampilannya, kau bisa tahu kalau dia adalah guru sekaligus wali kelas kami. Namanya adalah Bu Anggun.
Sambil membetulkan kacamatanya Bu Anggun mulai berbicara, “Anak-anak sekalian, hari ini kita kedatangan murid baru, dia mulai mengikuti pelajaran di kelas kita hari ini juga.”
“Murid barunya Pria atau Wanita, Bu?” celetuk salah seorang murid laki-laki, sontak seisi kelas menyorakinya sehingga suasana kembali ramai.
“Harap tenang anak-anak sekalian, kalian akan punya kesempatan untuk berkenalan dengannya nanti.”
Kemudian Bu Anggun mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke dalam kelas. Dia berjalan masuk ke dalam kelas diikuti dengan pandangan semua penghuni kelas yang penasaran. Betapa terlihat tegang dan gugup dia ketika berdiri di depan papan tulis saat itu. Dia berdiri dengan tangan saling menggenggam rapi ketika cahaya matahari menyinari wajahnya yang kemerahan melalui jendela kelas. Rambut hitam sebahu yang ia ikat 'Twintail' tampak mengkilap, kulit putihnya tampak terang meski dibalut dengan seragam SMA-nya. Wajahnya yang blasteran Asia-Australia terlihat imut membuat seisi kelas terdiam, seolah melihat sosok malaikat di hadapan mereka. 
“Tolong perkenalkan namamu dan asal sekolah kamu,” perintah Bu Anggun dengan nada tegas.
Matanya yang tidak berkedip terbuka lebar dan melihat ke satu titik di depannya. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam, lalu mulai berbicara, “Hallo teman-teman, perkenalkan nama ku Luna Prisha, nama panggilan ku “Una”, saya murid pindahan dari Australia.”
“Hallo juga Una, boleh aku minta Nomor mu?” lagi-lagi salah seorang murid laki-laki menyeletuk, sehingga seisi kelas menyorakinya, namun kali ini suara para siswi lah yang terdengar paling jelas. Bu Anggun hanya menggelengkan kepala melihat tingkah murid-muridnya. Sementara Luna memaksakan senyum sebagai cara untuk menahan rasa malunya.
“Silahkan kamu duduk di kursi yang kosong itu,” perintah Bu guru.
“Baik, Bu.” Luna menjawab, lalu berjalan menuju kursi yang ditunjuk Bu guru. Ia duduk di barisan kedua dari meja guru, di kursi urutan kedua dari belakang yang berjarak satu baris dari jendela. Di sampingnya sudah ada seorang gadis. Luna sangat lega karena mendapatkan teman duduk yang sejenis.  
 “Hai Una,” gadis itu menyapa, “Namaku Dina, salam kenal ya.”
Mereka berjabat tangan disambut dengan senyuman hangat dari keduanya.
“Kamu beneran dari Australia?” Dina bertanya padaku.
“Iya, aku bersekolah disana dari SD sampai SMP. Karena suatu alasan, aku pindah ke Jakarta pada tahun ketiga SMA, dan bersekolah disini.” Luna menjelaskan.
“Oh, kenapa kamu memilih sekolah ini?” Dina bertanya lagi
“Tidak ada alasan khusus. Hanya saja, sekolah ini letaknya yang paling dekat dengan rumah ku.” Luna menjawab.
“Oh, begitu. Luna, semoga nanti kita bisa akrab ya,” Dina tersenyum tipis, “Ups,  lebih baik sekarang kita perhatikan Bu guru yang mulai mengajar, atau kita akan kena masalah.”

Pelajaran pertama pun dimulai, semua murid di kelas bersikap serius sambil memperhatikan Bu Anggun yang sedang menerangkan materi. Namun belum lima menit berlalu, terdengar suara seseorang mengetuk pintu kelas. Bu Anggun serta semua murid di kelas menoleh ke arah pintu, di sana tampak seorang siswa yang sepertinya datang terlambat, wajahnya terlihat muram seperti orang depresi dan kelopak matanya sedikit menghitam seperti orang yang kurang tidur. Dia berjalan menghadap Bu Anggun dan meminta maaf atas keterlambatannya. Bu Anggun pun memaafkannya dan mempersilahkannya duduk, lalu kembali menerangkan materi pelajaran. Ia berjalan menuju kursi paling belakang didekat jendela kelas, yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Luna.
Luna memperhatikan murid yang terlambat itu dengan sedikit rasa tertarik, mata mereka tiba-tiba bertemu, membuat Luna terkejut sekaligus merinding. Memang sorot mata yang tajam dan menakutkan, namun terlihat kosong.
Huuwaa.... menyeramkan sekali orang itu. Luna berbicara di dalam hati.  Kemudian Luna berbisik kepada Dina, “Erm, Dina. Siapa siswa yang tadi datang terlambat?” tanya Luna.
“Ah dia ya, dia itu... Namanya Rio,” Dina menjawab.
“Rio ya... Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Kenapa wajahnya seperti orang depresi begitu?” Luna kembali bertanya.
Dina tidak langsung menjawab, “Yah, dia sudah seperti itu akhir-akhir ini. Padahal sebelumnya dia itu merupakan orang yang ceria, pandai dalam pelajaran dan juga olahraga. Namun semuanya berubah sekitar dua bulan yang lalu. Keluarganya mengalami kecelakaan fatal saat liburan akhir semester,” Dina berhenti sejenak untuk menarik nafas, “Peristiwa itu telah menyebabkan Ibunya meninggal dunia. Kemudian Rio berubah menjadi seperti sekarang ini.”
“Jadi begitu ya,” Luna mengangguk paham dan kembali bertanya, “Hm, Dina. Apa sebelumnya kamu akrab dengannya?”
“Entahlah, sebenarnya aku tinggal di sebelah rumahnya.” Dina berbisik pelan.
Luna menjadi sedikit tertarik setelah mendengar cerita Dina, gadis itu memainkan rambutnya sambil memikirkan sesuatu.

Bel tanda Istirahat pun berbunyi. Tanpa disadari, Dina sudah menghilang dari tempat duduknya. Ehhhh... sejak kapan dia menghilang? Luna berbicara dalam pikirannya. Beberapa saat kemudian, tempat duduk Luna sudah ramai dikerumuni seluruh murid di kelasnya.  Yah, beginilah nasib murid baru di hari pertama mereka bersekolah. Mereka yang mengerumuni gadis itu menanyakan berbagai macam hal mengenai dirinya atau mengenai tempat dia tinggal dulu. Sungguh melelahkan menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Parahnya, hal itu berlangsung selama jam istirahat, Lala membuat Luna tidak sempat memakan bekal makan siangnya.
Jadi, itulah mengapa Dina menghilang tepat setelah bel istirahat berbunyi. Ia tahu kejadiannya akan seperti ini, dan dia memilih untuk melarikan diri.
Jahat sekali, benar-benar tidak bertanggung jawab!


Bersambung...

Sunday, April 2, 2017

Ecnahc Dnoces: Dendam



Moskow, 20 Maret 2012

Malam hari di awal bulan April, hari baru, kasus baru, omong kosong yang sama. Sedikit keberuntungan tidak seharusnya membuat Karpov sombong. Sedikit keberuntungan yang bisa membuatnya sedikit melacak keberadaan Polnareff. Tapi sekali lagi penjahat itu lebih licik darinya.

Hal lain yang menyebalkan adalah langit seperti hendak mengejeknya dengan hujan deras ini. Informan yang seharusnya datang tidak datang juga, ini sudah jam 12 malam. Kemana saja dia? Semua menjadi semakin jelas ketika Karpov mendapat pager dari temannya yang ada di kepolisian bahwa mereka menemukan informan Karpov berenang di teluk, hobi aneh. Dia yakin Polnareff sudah berhasil mengajak Informannya untuk menyelam..

Dia meraba ke kantong-kantong mantelnya yang basah kuyup, di keluarkan sekotak rokok yang basah kuyup. Dia mengumpat. Tidak adakah yang bisa lebih buruk dari ini. Di sebuah gang kecil di ujung kota, basah, dan tidak mendapat tempat berteduh kecuali pinggiran toko tutup yang melindunginya dari air hujan sama seperti berdiri di bawah shower.

Karpov lihat toko di sebelahnya menyala terang berwarna kuning. Seharusnya dia tak perlu berfikir dua kali untuk masuk ke sana. Namun dia sempat melihat papan nama dari neon yang berpijar terang berwarna merah. “Ecnahc Dnoces.” Nama yang aneh untuk sebuah toko, tapi terserahlah, Pikirnya. Dia akan masuk ke gubuk setan kalau perlu untuk menghindari hujan sialan ini.

Dia merasa ada yang aneh dari tempat ini, namun kakinya seperti bergerak sendiri ke arah sana.

Ketika Dia masuk dia melihat seorang perempuan manis, pakaiannya jelas-jelas berlebihan untuk seorang gadis muda. Jelas dia bukan wanita baik-baik, namun juga terlalu cantik untuk jadi seorang pelacur. Dan dia mengenakan pakaian Bunny girl berwarna hitam. Mungkin ini gaya pemasaran baru.

“Selamat malam” katanya “Selamat datang.”

“Kau punya Rokok!”

“Rokok?”

“Jadi kau tidak punya rokok?”

“Tuan, di sini bukan tempat spele...” Perempuan itu tersenyum menyeramkan.

Suara tepuk tangan terdengar dari seberang ruangan.

Clap*Clap

“Sopan sedikit pada tamu kita Visha, tentu saja kami punya rokok. Lagian, apa-apaan pakaian itu?”

Karpov menghela nafas lega, “Terimakasih, apa kau pemilik toko ini?”

“Ini bukan toko...”

“Bukan? Jadi kau pemilik tempat ini?”

“Sayang sekali bukan. Namaku Xeon dan aku hanya menjalankannya. Pemiliknya bukan aku. Setidaknya lepaskanlah topi itu Detektif Karpov, anda bisa masuk angin kalau tetap basah seperti itu.”

Karpov tidak tahu dari mana dia mengetahui namanya, namun anehnya dia tidak begitu penasaran. Pria bernama Xeon ini memakai pakaian jas hitam. Rambutnya disisir kelimis. Matanya dingin seperti membekukan. Dia bertubuh tinggi, namun wajahnya nampak muda. Entah berapa umurnya.

Pria itu membawa Karpov ke ruang di sebelahnya. Entah dari mana muncul sebuah pintu. Di dalamnya ada meja panjang, dia berdiri di balik meja itu. Di belakangnya ada rak berbagai macam benda aneh. Tengkorak dan buku-buku berdebu serta bejana-bejana.

“Jadi, tempat macam apa ini?”

“Bagus anda bertanya, kami di sini melakukan berbagai penukaran. Perhiasan, barang antik, hati, impian. Mata? ” kata pria bernama Xeon itu, entah kenapa suaranya yang dalam membuat Karpov mempercayainya. Perasaan aneh yang dirasakannya di awal masuk tempat ini semakin lama semakin kuat.

“Tempat yang aneh.”

“Ada yang berkata bahwa tempat ini dijalankan oleh Iblis, bagaimana menurut anda?”

“Tidak heran.”

“Anda tidak merasa takut?”

“Iblis, kurasa aku cukup mengenalnya. Mereka berjalan seperti manusia.”

Pria bernama Xeon menatap wajah Karpov. Selama bercakap-cakap Karpov melihat dia tidak merubah wajah ataupun cara berbicaranya.

“Pria yang unik, anda pasti juga punya permintaan unik.”

“Aku hanya ingin membeli rokok?”

“Selain rokok tentu saja. Apa anda tentu punya keinginan lain. Misalnya ketenaran, harta, atau... anda punya orang yang anda sayangi, anda tentu ingin membuatnya hidup...”

“Tidak berminat mengganggu orang yang sudah mati.”

“Jadi sekarang katakan apa permintaanmu, setiap orang punya permintaan.”

Karpov menghela nafas panjang, rasanya percuma menyembunyikan apapun dari orang ini. Detektif itu mengeluarkan sebuah foto dan meletakkannya di atas meja.

“Dia Mikhaila Romanoff, hilang dari rumahnya sehari yang lalu.”

“Bukan dia yang kau cari.”

“Maksudmu?”

“Kau tahu apa maksudku. Tapi baiklah, aku akan memberikan apa yang kau mau. Tapi ada bayarannya.”

“Sepuluh dolar,”

“Maaf. Harga itu masih kurang. Kau ingin memperpanjang nyawa gadis itu. Itu tidak murah.”

“Sepuluh dolar lima sen. Itu semua yang kupunya. Kau lihat aku pria miskin. Apa kau mau menukar dengan nyawaku. ”

“Nyawa? Aku tertarik dengan hal lain. Bagaimana dengan Liontin ini.”

Dia mencoba meraih liontin yang tergantung di leher Karpov..

“Maaf, aku tidak berniat menukarkannya. Ini hanya liontin tua.”

“Sebenarnya akan lebih mudah jika kau mau menukarnya. Benda ini nilainya lumayan setara dengan informasi yang kuberikan. Liontin ini penuh dengan goresan dan coretan. Kau benar ini hanya liontin tua, untuk apa mempertahankannya... Tapi aku tidak akan memaksa.”

Karpov menghela nafas panjang. Sebelum akhirnya berbicara...
"Tidak, aku masih punya sesuatu yang lebih menarik!"



Di luar masih hujan.

Segera sang Detektif melajukan mobil ke tempat persembunyian Polnareff. Menyelinap di gubuk tua persembunyiannya. Penjahat itu tidak sadar, ketika Karpov melewati pagar dan menyelinap ke pintu depan. Karpov segera mendobraknya. Begitu melihat Karpov, penjahat itu lari ke belakang. Langkah Karpov sempat terhenti untuk melepaskan gadis yang diikat oleh bajingan itu. Gadis itu baik-baik saja untung saja.

Karpov mengejarnya, sampai ke halaman. Beberapa tembakan membuat suasana daerah pinggiran itu ramai. Suara pistol terdengar seperti guntur yang teredam hujan. Dia terjatuh di jalan, tangannya memegang lututnya yang berdarah.

“Dari mana kau tahu tempat persembunyianku.”

“Seseorang memberitahuku. Dengan bayaran yang amat mahal.”

“Ka.. kau ingin membunuhku.”

Karpov menggerakkan jemarinya, namun tertahan di pelatuk.

“Ada apa?”

Karpov masih diam

“Ada apa? Kau tak ingin membunuhku. Kenapa kau jadi pengecut Detektif. Apa kau sudah lupa dengan apa yang kulakukan pada asistenmu Claudia.”

Masih membeku.

“Ini yang telah lama kau tunggu, mau apa lagi?”

“Biar polisi yang menangani semua ini Polnareff.”

Sang detektif menghembuskan napas panjang. Kini dia tidak bisa membunuhnya. Dia telah menukar hal paling berharga yang terus membuatnya hidup selama ini. Hal yang telah mengisi kekosongan dalam hidupnya. Hal itu adalah rasa Dendam.

Di belakang gadis yang telah dilepaskan ikatannya muncul. Dia kaget.

“Persetan Detektif,” Polnareff mengeluarkan pistol cadangannya.

Karpov masih tidak bisa menembak Polnareff. Tiba-tiba di saat-saat terakhir sebuah mobil bergerak cepat melindas penjahat itu. Menyeretnya beberapa meter dan mengoyak tubuhnya dalam hujan. Pengendaranya keluar dan segera berteriak nyaris pingsan. Jalanan berubah jadi merah, segera dihapus oleh hujan.

Tidak ada rasa puas, tidak ada rasa benci.

Yang ada hanya hampa.
_

Polisi berdatangan dari berbagai penjuru. Semuanya mengerubungi TKP, menenangkan pengemudi dan gadis yang diculik. Sekarang hujan mulai mereda. Semua sudah terjadi, Polnareff telah mati, Karpov tidak bisa membunuhnya. Setidaknya kejahatannya sudah sedikit terbayar. Perlahan rasa kosong itu terasa lebih kuat. Rasa kosong yang sebenarnya telah lama dia kenal. Mungkin lebih baik demikian.

Dia mengambil rokok yang di dapat dari Ecnahc Dnoces. Dia meraba jasnya mencari korek api, dia tidak menemukannya. Yang ada hanyalah kartu dari Ecnahc Dnoces.

“Untuk rokoknya bayarannya adalah korek apimu. – Datang lagi ya.”

“Dasar Sialan! Untuk apa rokok tanpa Korek.”


ARC BERAKHIR

Friday, March 31, 2017

Melihat Kematian



Dunia ini masih menyimpan banyak misteri didalamnya. Kehidupan, Kematian, dan Kekuatan adalah misteri-misteri yang ada diantara banyak misteri. Ngomong-ngomong soal kekuatan, ada berbagai macam jenisnya. Kau bisa mendapatkan salah satunya jika kau mau. Tapi ya, seperti yang aku katakan tadi, kau harus mencari misteri yang tersembunyi dari kekuatan itu. Tiga dari sepuluh orang manusia telah berhasil mengungkap misteri dari beberapa kekuatan yang ada di dunia ini.

Mereka yang memiliki kemampuan khusus tertentu itu terkadang menyembunyikan kemampuan yang mereka miliki dari orang lain, namun beberapa lainnya memanfaatkan kemampuan mereka untuk mendapatkan sebuah eksistensi.

Aku adalah salah satu dari golongan orang-orang yang memiliki kemampuan khusus itu. Berbeda dengan mereka, kemampuan yang kumiliki timbul karena kejadian yang kuharap tidak pernah terjadi dalam hidupku.

Sekitar dua bulan yang lalu, aku dan beberapa orang teman mengunjungi sebuah kuil yang sudah tak terjamah di tengah hutan, saat itu kami sedang beristirahat di sana setelah melakukan pendakian di Gunung. Salah seorang temanku yang mempunyai rasa keingintahuan tinggi, mengajak aku dan lainnya untuk memeriksa bagian dalam kuil. Awalnya kami menolak namun akhirnya kami menurutinya setelah ia memaksa untuk mengajak kami masuk ke dalam.

Keadaan di dalam kuil tidak begitu mengerikan, hanya sedikit kumuh dan berbau tidak sedap. Kami menelusuri satu demi satu ruangan di dalam kuil tersebut hingga kami sampai pada ruangan tengah. Ruangan itu cukup besar dan dekelilingi oleh beberapa patung berwujud manusia. Di antara patung-patung tersebut terdapat sebuah patung yang sangat besar, di tangannya terdapat sejenis lempengan besi berwarna keemasan. Aku dan teman-temanku berjalan mendekati patung tersebut dan kami menemukan sebuah buku tergeletak di atas lempengan emas itu.

Buku itu tidak tebal namun juga tidak begitu tipis, tulisan di dalamnya pun menggunakan aksara kuno. Aku tidak mengerti apa yang dituliskan dalam buku itu tapi salah seorang temanku bernama Toni mengerti dan menerjemahkannya kepada kami. Awalnya kami tertawa mendengar penjelasannya

“Hal semustahil itu tidak mungkin ada di dunia nyata” jawab temanku yang lainnya.

Toni terlihat kesal lalu ia membaca sebuah kalimat yang katanya merupakan sebuah mantra yang bisa membuat kita mampu melihat kematian seseorang sebelum itu terjadi.

“Baiklah siapa yang berani mengulanginya sebanyak tiga kali kalimat yang sudah kuucapkan, akan kuberikan semua uang yang ada didompetku” ucap Toni menantang kami.

Bisa dibilang Toni adalah temanku yang paling pelit, mendengarnya bertaruh seperti itu membuat teman-temanku yang lain mempercayai ucapannya tapi tidak denganku. Aku mengulurkan tangan kananku dan menjabat tangan Toni, “Oke Deal! Kalian semua saksinya ya?” ucapku sumringah.

Tiga hari telah berlalu sejak kajian di kuil itu, aku mulai merasakan hal-hal aneh, mendengar suara-suara yang selalu hilang ketika kucari dan hari itu pun datang. Sore itu aku bertemu dengan teman-temanku. Toni bertanya padaku apakah sesuatu hal telah terjadi dan saat aku hendak menjawabnya, tiba-tiba pandanganku terfokus pada kedua bola matanya, semua menjadi gelap dan hening, semakin dalam padanganku membawaku, aku dapat melihat secercah cahaya dan sebuah gambar yang dengan perlahan menjadi semakin jelas, itu adalah Toni, ia mengendarai motornya dengan sangat kencang dan sebuah truk terparkir tak jauh di hadapanya, Toni tak bisa mengurangi kecepatan motornya dan menghantam truk tersebut hingga badannya terpental dan mendarat pada aspal dengan kepalanya yang pecah bersimbah darah.

“Hei Den, kau baik-baik saja?”

Pandanganku kembali, Toni masih duduk di hadapanku dengan temanku yang lainnya.

“Aku baik, hei Ton berhati-hatilah sepulang nanti, jangan mengendarai motormu terlalu kencang” ucapku

Toni dan teman-temanku terlihat kebingungan dengan ucapanku, dan sepertinya Toni menyadari suatu hal di balik ucapanku. Wajah Toni terlihat memucat dan perlahan ia berkata “A...apa kau melihat kematianku?”. Aku mengangguk, mereka semua menjadi terdiam dan saling menatap.

Kami semua memutuskan untuk pulang bersama mendampingi Toni. Kami berkendara dengan sangat hati-hati dan perlahan, beberapa kendaran terdengar kesal dan membunyikan sirine mereka untuk menegur kami, namun kami lebih takut kematian Toni ketimbang wajah marah dan cacian kotor mereka.

Saat kami sampai di sebuah perempatan jalan, aku melihat truk itu, truk yang menjadi bagian dari kematian Toni. Aku berteriak dan memperingati Toni, Toni pun seketika menghentikan laju motornya namun sebuah Van hitam melaju dari arah belakang dan menghantan motor Toni, motor yang dikendarai Toni terdorong keras hingga menabrak bagian depan truk yang terparkir di hadapannya dan tubuh Toni terpental seperti dalam penglihatanku sebelumnya.

Para pejalan kaki dan pengendara yang berada di lokasi pun histeris dan berhamburan mendekati tubuh Toni yang sudah tak sadarkan diri. Aku dan semua temanku berlari meninggalkan kendaraan kami untuk memeriksa keadaan Toni, Toni telah tewas dan semua temanku menatapku dengan tatapan yang sangat dingin. Aku tak sanggup menyaksikan jasad Toni, “Apa yang terjadi? Aku tak melihat Van hitam itu dalam penglihatanku sebelumnya.” Pikirku, tubuhku perlahan menjauh akibat rasa bersalahku pada Toni dan sebuah hantaman keras kurasakan menyentuh tubuhku.

Saat kembali dari rumah sakit akibat kecelakaan yang kualami, aku berusaha memperbaiki hubunganku dengan semua temanku, aku menghampiri tempat yang biasa kami datangi untuk menghabiskan malam, namun sepertinya mereka sangat membenciku dan bahkan mengabaikanku. Aku selalu berusaha menyapa dan ikut berkumpul dengan mereka namun semua tetap sama, mereka tetap mengabaikanku seolah kematian Toni sepenuhnya merupakan perbuatanku.

Mereka harusnya tahu bahwa aku pun merasa kehilangan dan aku merasa sangat bersalah. Harusnya mereka mengerti dan tidak menjauhiku seperti ini, bahkan kematian Toni membuatku takut untuk melihat pantulan diriku, aku takut jika tanpa sengaja aku melihatnya maka gambaran akan kematianku akan muncul dan menghantuiku namun bahkan apa yang mereka lakukan kepadaku saat ini membuatku merasa bahwa aku telah menemukan kematianku itu.

Aku mulai mengurung diri di kamar sepanjang waktu, tidak bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, mereka pula tidak menghiraukan keberadaanku, tidak bertanya apa yang terjadi kepadaku. Sejak kejadian itu, duniaku benar-benar berubah. Aku mulai membenci kehidupanku yang menyedihkan ini, aku keilangan teman dan keluargaku karena kemampuan menakutkan yang kumiliki. Kemampuan ini membuatku merasa kesepian dan kehilangan.

Aku memutuskan untuk mengakhirinya hari ini, aku akan menjemput kematianku. Dengan tekad yang sudah bulat, aku berjalan menuju kamar mandi, memantapkan niatku untuk menatap pantulan wajahku agar aku dapat mengetahui bagaimana aku akan mati nanti. Kuhirup nafas dalam-dalam dan mengangkat kepalaku, perlahan kubuka kedua mataku yang masih ragu dengan keinginanku, namun berkali-kali aku membuka mataku, aku tetap tak dapat melihatnya, aku tak dapat melihat kematianku itu dan juga tak melihat pantulan diriku pada cermin di hadapanku itu.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Toni saat mengutip sebuah kalimat dari buku kuno itu.
"Ini adalah cara untuk meminjam mata Sang Kematian. Dia akan memberikannya kepadamu, namun sebagai gantinya dia akan membawa JIWAMU."


END?

Wednesday, March 29, 2017

Ecnahc Dnoces: Kesempatan Kedua



(Workshop Street, Michigan – 12 Maret 2011)

Seorang pria muda berkacamata, dalam balutan jaket kulit warna coklat tiba di gerbang Workshop Street. Ia tampak menggenggam tangan sesorang anak lelaki berusia 10 tahun. Pandangan anak itu tidak fokus, lidahnya tebal dan menjulur keluar, menyiratkan ada yang tidak beres pada anak tersebut. Anak itu menyeret-nyeret tangannya, “Ayo Pa, ke sana…. Ayo… ayooo!!!!”

Pria muda itu menuruti keinginan anaknya dengan rasa malas. Sebenarnya bukannya ia tidak sayang pada anaknya, bukan pula ia tidak suka jalan-jalan. Tetapi yang ada di kepalanya adalah bagaimana ia melunasi setumpuk hutang yang menumpuk untuk biaya pengobatan semenjak kelahiran anaknya yang ternyata …. autis ini.

Selama 10 tahun masa perkawinannya secara umum sebenarnya membahagiakan. Tetapi kehadiran anaknya yang tunggal namun autis membuatnya harus selalu mengeluarkan biaya ekstra untuk pendidikan khusus bagi anaknya. Ditambah akhir-akhir ini istrinya sakit-sakitan dan karirnya yang terhenti hanya sebagai guru tidak tetap di sebuah SMA membuatnya tidak punya pilihan lain selain berhutang. Tumpukan hutang yang semakin menggunung ditambah teror dari para debt collector merasa menjadi orang paling malang di dunia.

Dipandanginya arloji emas, hadiah dari ibunya saat pernikahan dahulu. Arloji itulah satu-satunya benda berharga yang masih menempel di dirinya selain 2 lembar 50 dolar yang tersimpan dalam dompetnya yang telah tipis karena digerus arus pengeluaran yang tidak terkontrol.

Pria muda itu melihat sebuah tulisan di antara ramainya hiruk pikuk saat itu : “ECNAHC DNOCES”.

“Ah,  aku menemukannya ….” Katanya yang langsung disambung dengan kebisuan sementara anaknya menarik-narik bajunya sekali lagi.

Pria muda itu berpaling ke anaknya lalu menuntun anaknya ke sebuah toko jajanan yang menjual aneka snack dan di sana ia berkata kepada anaknya, “Apa pun yang terjadi tetaplah disini. Ayah ada urusan sebentar.”

“Hummp... Ya deh” jawab anak itu sambil melongo.

Pria muda itu segera berlari ke arah Ecnahc Dnoces berada dan dengan terburu-buru ia membuka pintu kaca itu.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pria berjas hitam dengan ekspresi dingin dan menakutkan dari balik meja resepsionis.

“Errr, iya. Apa benar ini Ecnahc Dnoces? Saya hendak menukarkan sesuatu sesuatu,” jawab pria muda tersebut.

“Apa yang hendak kau tukarkan, Tuan?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba saja keluar dari belakang.

Wanita itu tampak sangat cantik di mata pria itu. Wanita itu berwajah Eropa degan rambut hitam khas Asia. Pakaiannya yang merupakan kombinasi seragam sekolah ala jepang dan kostum Grup Idol. Membuatnya tampak mirip personel AK*48

“Err, ya. Saya hendak menukarkan ini,” kata pria muda itu sembari melepaskan arloji emasnya.

“Anda yakin Pak? Oh ya saya bicara dengan Bapak siapa?” tanya pria yang menjadi resepsionis itu masih dengan ekspresi dingin.

“Jack Roberts.”

“Kau bisa menukarkan lebih dari itu Tuan. Dan semakin tinggi nilai yang kau tukarkan semakin besar yang akan kau dapat,” kata wanita itu sambil mengerlingkan mata ke arah pria muda itu.

“Tapi ini adalah benda berharga terakhir yang aku punya,” jawab Jack.

“Ah…ah..ah! Tidak juga, Nak! Kau masih punya harta berharga satu lagi,” celetuk sang resepsionis.

“Apa itu?”

“Istrimu dan anakmu!”

“Istriku? Kau mau jadikan dia pelacur begitu?” seru pria muda itu marah.

“Oh tidak begitu Tuan. Maafkan kata-kata Xeon yang sangat kasar. Tapi tidak ada maksud dari dirinya untuk mencelakai istri dan anakmu. Mari Tuan, duduklah dan minum teh dahulu,” kata wanita muda itu sambil mempersilakan Jack duduk.

Jack duduk dengan muka sebal, sementara Xeon keluar dari balik meja resepsionis ke arah meja tamu.

“Kami akan tukarkan kehidupanmu bersama anak istrimu yang sekarang dengan kehidupan yang lebih baik bila kau tukarkan hidupmu sekarang, Tuan!” kata Xeon.

Sementara itu wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Jack dan membuat jantung pria muda itu berdebar tidak karuan. Wanita ini sungguh-sungguh membuatnya hampir lepas kendali kalau saja ia tidak ingat janji perkawinan sehidup-semati yang ia buat dengan istrinya dahulu.

“Anda akan mengambil nyawa saya bukan?” tanya Jack.

“Tidak, saya tidak akan mengambil nyawa anda. Nyawa anda juga tidak akan berkurang. Hanya ‘masa kini’ milik anda saja yang anda tukarkan,” jawab Xeon masih juga dengan muka tanpa ekspresi.

“Bagaimana?” tanya resepsionis itu lagi.

“Apa yang akan saya dapatkan jika saya menukarkan ‘masa kini’ saya?”

“Apapun yang anda minta.”

“Termasuk kesempatan kedua?”

“Aw? Apa kesempatan kedua yang dibutuhkan oleh orang seperti anda?” goda si wanita.

Jantung pria itu semakin berdebar tidak karuan, bukan hanya karena tegang akibat konsekuensi yang mungkin akan ia tanggung, tetapi juga karena belahan bukit kembar yang padat dan kenyal serta menonjol dari balik pakaian wanita itu merangsang nafsu kelelakiannya ( Hari ini author agak mesum, yak :v Gak gak, ini karena alurnya memang harus begini).

“Ya, kesempatan kedua juga berlaku. Ceritakan masalah anda!”

“Ah, ya. Saya ini seorang guru SMA. Guru Fisika tepatnya.”

“Oke? Lalu.”

“Tetapi pada masa SMA, saya adalah olimpiadewan fisika yang lumayan handal. Hanya saja… hanya saja… pada babak final olimpiade fisika nasional saat itu…. saya gagal masuk menjadi 3 besar. Saya digagalkan oleh sebuah pertanyaan, perjuangan saya hancur lebur. Semua orang memuja dia, teman baik saya. Segala penghargaan ia dapatkan sementara saya dilupakan. Sementara saya tidak dapat mengikuti olimpiade berikutnya karena saya sudah menginjak kelas 3. Saya terlupakan!!!! Pada masa kuliah pun saya dikalahkan oleh teman-teman yang jauh lebih superior daripada saya!!! Ini tidak adil!!! Saya belajar siang-malam untuk sekedar sejajar dengan yang terendah dari mereka tapi tidak pernah bisa. Saya selalu gagal dalam setiap kompetisi, sementara mereka terus menerus berhasil!!! Kenapa???!!!” cerita pria muda itu berapi-api.

“Dan sekarang, pengabdian saya sebagai guru tidak jua dihargai. Saya tetap saja menjadi Guru Honorer, tidak diberi kesempatan sekali pun menjadi seorang guru tetap. Sementara badai cobaan hidup selalu mendera saya siang dan malam dalam hidup saya yang semakin menyedihkan dari hari ke hari, orang-orang lain dengan kemampuan dan pengabdian yang lebih rendah daripada saya mendapatkan aneka kedudukan dan kemudahan dalam mencari uang. Saya??? Dilupakan sekali lagi!!!!!” lanjutnya masih dengan ekspresi marah berapi-api.

“Oke, saya paham,” kata Xeon, “Manami…!”

“Namaku Visha!!!” jawab wanita itu marah.

“Bodoh, bukannya kau sendiri yang terus merengek untuk dipanggil 'Manami'. Cepat, persiapkan kontrak dan pintunya.”

“Oke bos!!” jawab wanita itu.

(New York – 1 Januari 1980)

Seorang balita berusia 3 tahun tampak bermain dengan spidol di sebuah ruang tamu sebuah rumah sederhana yang terletak di sebuah perumahan.

“Jack, sedang apa kamu?” tanya seorang ibu muda yang membawa sekeranjang pakaian kering ke meja seterika.

“Nyoret!” jawab anak itu cuek.

“Hah, apa sih?” tanya ibunya lagi sembari menghampiri anaknya itu.

Si anak menunjukkan hasil coretannya ke hadapan ibunya dan jantung ibu muda itu hampir saja berhenti karena sangat kagetnya. Pada lantai yang telah penuh oleh tulisan itu terdapat kalimat-kalimat berikut :

1. W= 2000 N

F = 400 N

Panjang lengan beban (lb) = 3 m

Panjang lengan kuasa (lk­) = M

Maka M= ….

Jawab : W x lb = F x M

2000 N x 3 m = 400 N x M

6000= 400M

M = 60/4

M = 15 meter



2. Posisi awal batu= 30 meter di atas tanah

Posisi saat ini = 20 meter di atas tanah

Massa batu = 400 gram

Kecepatan batu saat ini =…..

Jawab : EP(1) = m.g.h

= 0.4 x 10 x 30

= 4 x 30

= 120 Joule

EP(2) = m.g.h

= 0.4 x 10 x 20

= 4 x 20

= 80 Joule

EK = EP(1)-EP(2)

½ .m.v2 = EP(1)-EP(2)

½ x 0.4 x v2 = 120-80

0.2v2 = 40

v2= 800

v = 20 m/s



"..................."



“Ini… ini….!! Dari mana kamu belajar hal ini, Nak?”

“Dari buku itu,” jawab anak itu cuek sembari menunjuk sebuah buku yang tergeletak tak jauh di hadapannya.

“Ini buku fisika kelas 2 SMP. Dari mana kamu bisa paham akan hal ini?”

Anak itu hanya diam saja tidak menjawab.



(Youth Arena, Oslo Norwegia – 3 Januari 1990)

“Semoga berhasil, Jack!” kata seorang pria paruh baya berkacamata pada seorang anak lelaki berusia 13 tahun.

“Ingat, kamu harus percaya bahwa kamu bisa!” kata seorang ibu paruh baya pada anak lelaki itu lagi.

“Iya Bu, Yah. Aku pasti akan memenangkan kompetisi ini.”

“Tunjukkan bahwa kita bisa menjadi yang terbaik!” kata pria paruh baya tadi sembari menepuk bahu anak lelaki itu.

“Pasti!” jawab anak itu.



(MIT University, Massachusetts – 4 Februari 1990)

“Pemirsa! Pada hari ini Presiden Amerika, George W Bush akan memberikan penghargaan pada anak ajaib dari New York. Jack Roberts. Pemirsa, apabila anak-anak seusianya biasanya masih duduk di kelas 1 SMP. Jack ini sudah mengenyam pendidikan sebagai siswa kelas 2 SMA. Kejeniusan anak ini pulalah yang akhirnya menghantarkan dirinya menjadi juara 1 Olimpiade Fisika Tingkat Dunia di Oslo, Norwegia pada tanggal 3 Januari yang lalu. Dan seperti bisa anda lihat pemirsa …. Presiden sudah memasuki panggung dan acara akan segera dimulai.”

Setelah pidato dan sambutan yang tidak jelas ujung pangkalnya dari para pembesar akhirnya tampak seorang anak maju ke atas panggung, menerima aneka penghargaan dan piala. Dan tak lupa ucapan selamat dari Presiden Bush.

“Nah, dengan ini tidak akan ada lagi yang akan mengejekku. Tidak akan ada lagi yang namanya kemiskinan. Dan tidak akan ada lagi yang namanya kesusahan. Aku akan menjadi nomor satu!” gumam anak itu dalam hati. Anak itu tak lain dan tak bukan adalah Jack.

Dari antara pengunjung acara itu tampaklah dua orang berpakaian jubah hitam panjang dengan tudung kepala menutupi muka mereka. Mereka adalah seorang pria dan seorang wanita.

“Michael, tidakkah kau merasa bahwa pria itu sudah berlaku curang?” tanya seseorang kepada seseorang.

“Maksudmu, Gabriel?” tanya pria itu.

“Ia minta kembali menjadi seorang anak dengan kemampuan yang setara orang dewasa. Dengan begitu ia bisa menjadi nomor satu di bidangnya. Tidakkah itu tidak adil bagi anak-anak yang lain?”

“Itu bukan urusan kita Gabriel. Itu urusan Xeon dan Ecnahc Dnoces-nya.”

“Mereka merusak hukum alam Michael! Merusak takdir pria itu.”

“Semua terjadi karena ijin-NYA, Gabriel. Apa kau lupa? Tugas kita disini hanya mengawasi saja.”

“Kau ini ….”

“Ah, Sebaiknya kita kembali.”

“Dengarkan aku dulu… hei Michael!!!!”

“Xeon dan Visha akan mengurus orang itu. Hal duniawi bukanlah urusan kita.”

Kedua sosok itu pergi meninggalkan acara itu tanpa ada satupun orang yang menyadarinya.



(International Physics Conference, Manila– 12 Juli 2000)

Ini adalah suatu konferensi di mana seluruh ahli fisika berkumpul untuk saling berdiskusi dan bertukar ilmu dalam bidang fisika. Tema yang dibahas dalam acara ini adalah laser.

“Saya sangat menunggu-nunggu simposium tentang laser sejak 2 tahun yang lalu, Prof Albert, bagaimana menurut pendapat anda mengenai penggunaan laser dalam kedokteran untuk memotong tumor?” tanya seorang pria Turki bersorban dalam balutan jas abu-abu kepada seorang pria botak berkulit pucat.

“Saya rasa hal itu sudah umum dibahas di simposium fisika 3 bulan lalu di Swiss, Tuan Mustafa. Saya lebih tertarik pada karya Doktor Asia itu,” jawab Albert.

“Doktor Roberts? Oh ya dia sangat hebat, penelitiannya soal sinar gamma untuk memperceat pertumbuhan pohon-pohon berkayu keras benar-benar revolusioner!! Berapa usianya?”

“Saya dengar ia baru berusia 23 tahun.”

“Waow, luar biasa!!!”

****

Sekarang … mari kita sambut presentator kita dari Amerika, Doktor Jack Roberts.”

Seluruh hadirin bertepuk tangan menyambut majunya Jack yang naik ke podium dan mulai membacakan makalahnya.

“Saudara-saudari….,” katanya membuka presentasinya.

“Hidup kita dan seluruh makhluk hidup di bumi ini bergantung kepada oksigen dan air. Dua elemen ini adalah elemen tervital dalam kehidupan kita. Selama ini hutan dengan aneka pepohonannya mencukupi kebutuhan kita akan dua hal itu saudara-saudari. Namun penebangan liar merusak semuanya dan kita tidak pernah cukup cepat dalam merestorasi alam kembali. Pepohonan tumbuh dalam waktu yang lebih lama daripada umur kebanyakan manusia, perlu belasan bahkan puluhan tahun untuk menghijaukan kembali hutan yang telah gundul, sementara itu kita harus terus menggunduli hutan karena kebutuhan kita akan laham, kertas, damar, mebel, dan hasil hutan lainnya. Itu semua tidak terelakkan. Tapi kini … saya menawarkan suatu solusi baru : radiasi sinar gamma dengan intensitas tertentu dapat mempercepat pertumbuhan tumbuhan berkayu keras. Penemuan ini saya kembangkan bersama dengan Doktor Profesor B.J Habibie, Ilmuan dari Indonesia yang sayang sekali tidak dapat hadir di sini. Tapi yang pasti dengan penemuan ini kita dapat mempercepat pertumbuhan pohon menjadi 10 sampai 15 tahun lebih cepat. Sebatang tanaman muda katakanlah berusia sebulan yang disinari terus menerus selama seminggu akan tumbuh menjadi layaknya tanaman berusia 8 bulan.”

“Penemuan ini belumlah sempurna saudara-saudari, karena itu saya mengundang rekan-rekan ilmuwan ataupun para investor yang berminat bergabung dengan kami untuk mengembangkan teknologi ini, kami akan menerimanya dengan senang hati. Adapun konsep dasar dari penyinaran ini adalah … bla..bla…bla…!” Jack terus melanjutkan ceramahnya dengan menjabarkan perumusan ilmiah untuk penemuannya.

Sesudah ia selesai dengan ceramahnya, suatu tepuk tangan meriah mengiringi turunnya Jack dari podium kembali ke tempat duduknya. Seluruh hadirin kagum akan kegemilangannya dalam meneliti dan berbicara di hadapan banyak orang. Ia telah bertransformasi menjadi seseorang yang dipuja dan dicari. Jauh berbeda dari kehidupannya yang sebenarnya.

(Workshop Street, Michigan – 12 Maret 2011)

Doktor Jack berdiri di depan tempat itu, tempat yang sama seperti yang ia temukan di kehidupannya pada hari yang sama namun dengan dimensi yang berbeda. Ia langkahkan kakinya memasuki tempat itu dan di sana kembali ia temukan seorang pria berjas hitam dan seorang gadis muda berbalut seragam SMA jepang.

“Ah, saudara Roberts. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Xeon.

“Begini Mas... Hidupku memang jauh lebih baik sekarang tapi yang aku tanyakan ke mana perginya anak istriku? Kenapa aku tak pernah bertemu mereka lagi?”

“Kau sudah menukarkan masamu bukan?”

“Aku memang sudah menukarkan masaku. Tetapi bukankah hanya masa yang tukarkan, bukan istri dan anakku!”

“Sabar, Tuan!” kata Visha.

“Bagaimana aku bisa sabar. Sekarang juga katakan di mana istri dan anakku!” bentak Jack.

“Jaga bicara anda Tuan!” kata Visha dengan Psy Ball di kedua tangannya dan matanya yang mengeluarkan sinar putih.

“Woah?” seru Jack terkejut.

Pria berjas yang tak lain adalah Xeon itu datang menghampiri si gadis lalu memegang pundaknya, “Visha, jangan menggunakan kekuatan mu sembarangan!”

Gadis itu menurut namun tampak sekali ia melakukannya dengan terpaksa karena ia langsung merengut sebal. Pria itu mendekati Jack lalu mengulurkan tangannya, “Mari! Akan saya tunjukkan di mana anak dan istri anda saat ini.”

Jack menyambut tangan pria itu dan dalam sekejap mereka sudah menghilang dari tempat itu.

“Itu istrimu!” kata Xeon.

“Eh?” Jack terkejut melihat istrinya hidup bersama pria lain,

“Tapi… kenapa?” tanya Jack lagi

“Kau sudah korbankan masamu bukan? Masa di mana kau hidup dengan anak dan istrimu. Maka dari itu istrimu dan kamu tidak akan pernah bertemu lagi. Kecuali jika kamu melakukan transaksi lagi,” jawab Xeon.

Kabut putih menutupi Xeon dan Jack dan mereka kembali ke Ecnahc Dnoces.

“Bagaimana Tuan? Anda mau bertransaksi lagi?” tanya Visha manja.

“Dan apa harga untuk sebuah masa yang harus kubeli kembali?” tanya Jack.

“Err, biar aku lihat dulu. Ooo untuk setiap jam dari masa yang hilang kau harus membayarnya dengan masa hidupmu selama setahun. Dan kalau boleh jujur Tuan, kau tidak punya masa hidup sepanjang itu. Tapi itu terserah padamu. Hahaha.”

“Kalian… kalian.. bajingan.”

“Bukankah kau dapatkan apa yang kau inginkan, kau menikmatinya, dan selama masa tenggang pembatalan transaksi kau tidak juga membatalkan transaksi. Jadi kalau kau sekarang mengalami hal ini, itu tidak lebih dari kesalahanmu sendiri. Hahaha.”

“Tuan, kalau anda hendak bertransaksi lagi, silakan bertransaksi lagi. Tetapi jika anda hanya hendak menggerutu akan nasib yang anda buat sendiri… silakan keluar dari sini sekarang juga!” kata Xeon dingin.

“Aduh Xeon, kau ini kasar sekali sama pelanggan. Ramahlah sedikit! Tapi… Hahaha aku lupa kalau kamu sudah tidak punya emosi,” kata Visha.

“Jadi kalian mau membantu saya atau tidak?” tanya Jack.

“Tidak…” jawab Xeon.

Wajah Jack merah padam dan dengan penuh kemarahan ia membuka pintu kaca itu lalu membanting pintu itu dengan keras sehingga menarik perhatian penjual dan pengunjung di sekitar tempat itu. Tetapi dalam sekejap timbul dalam benaknya untuk menukar masanya kini dengan masa aslinya terdahulu. Ia tidak peduli lagi dengan ketenaran ini, ia rindu akan istrinya yang lemah lembut dan pandai memasak, ia rindu akan putranya yang meski idiot sangat menyayanginya. Ia bersedia menukarkan apapun bahkan usianya untuk mendapatkan kembali masa itu. Namun ketika ia berbalik menatap tempat itu untuk kembali ke dalamnya…. TEMPAT ITU TELAH MENGHILANG.

“Tidaaaakkkkk!!!!!” jerit pria muda itu histeris di tengah-tengah area Workshop Street.


ARC BERAKHIR

Monday, March 27, 2017

Sebuah Film Berjudul 'Tsumi'


Siang ini cuacanya terlihat agak mendung. Matahari tidak bersinar cerah seperti kemarin hari. Menurutku ada yang aneh dengan cuaca akhir-akhir ini. Sebentar-sebentar hujan deras, tapi besoknya matahari bersinar terang. Orang bilang, itu karena pemanasan global, ada juga yang tidak percaya pada pemanasan global. Kalau aku, percaya-percaya saja, tapi aku tidak terlalu banyak memikirkannya. Sebagai mahasiswa super-sibuk, yang aku pikirkan hanyalah masalah pelajaran. Sebagai mahasiswa super-sibuk, yang aku tunggu hanyalah akhir pekan!

Dan sekarang adalah akhir pekan. Bukan akhir pekan biasa, ini adalah awal dari hari libur yang berturut-turut. Besok hari Sabtu, kuliah libur. Hari Minggu sudah pasti libur. Hari Senin, Pak Dosen sudah bilang kalau dia tidak bisa datang, itu artinya libur tiga hari. Dan aku sudah mengerjakan semua tugas laporan, makalah, praktikum, dan segala antek-anteknya. Three days of freedom, yay!

Sepulang kuliah sore ini, aku berhenti di sebuah rental DVD yang tidak begitu terkenal di dekat tempat kost-ku: Watcher's DVD. Aku rasa pasti adalah ide yang bagus untuk menghabiskan hari libur dengan menonton film. Walau tempat rental ini terlihat besar, tapi harga sewanya sangat murah, dan tidak perlu mendaftar menjadi anggota segala. Sudah cukup sering aku menyewa film di tempat ini, dan aku menyadari kalau kebanyakan film yang disewakan di sini adalah copy bajakan. Tidak masalah buatku.

Tok! Tok!

Aku mengetuk pintunya sambil masuk ke dalam, rupanya sedang sepi, cuma Mbak Atiek yang menjaga counter.

“Mas Ray! Selamat sore!” ucapnya sambil tersenyum melihat kedatanganku.

Mbak Atiek adalah pemilik rental The Watcher. Sebenarnya Mbak Atiek menjalankan usaha ini berdua dengan Mas Rojib, kakaknya. Walau aku selalu memanggilnya dengan sebutan “Mbak”, sebenarnya ia seumuran denganku, hanya saja entah kenapa aku selalu merasa kalau ia lebih tua. Sedangkan Mas Rojib beberapa tahun lebih tua dariku, sepertinya sebentar lagi akan lulus kuliah. Mungkin ia sedang sibuk, makanya akhir-akhir ini jarang kelihatan.

“Mbak, ada film yang baru nggak?” tanyaku sambil melihat-lihat rak-rak DVD dan VCD.

“Ada, film horror mau?”

“Selain horror?”

“Hmm ... Pasal-Pasal Cinta?”

“Yah, itu mah udah basi! Film Indonesia yg lain ada yang baru?” Ia tampak memeriksa katalog yang ada di tangannya.

“Ada, beberapa. Yang ini nih, judulnya OD.”

“OD?” aku duduk di dekatnya sambil memperhatikan sampul film itu.

“Over Dosis.”

“Ceritanya tentang apa ya?”

"Yah ..., tentang pergaulan bebas, seks gitu Mas,” Mbak Atiek terlihat malu-malu, aku jadi geli sendiri.

“Ah, kayanya film murahan, paling cuma ikut-ikutan Antartican Pie gitu,” aku letakkan lagi sampul film itu,

“Yang lain ada nggak?”

“Ada nih, film religi, yang buatnya sutradara terkenal. Baru diputer di bioskop kok, judulnya Waria Berkalung Keset. Gimana?”

“Males ah, paling kaya sinetron.”

“Kalo yang ini? Judulnya Because of Love.”

“Judulnya aja udah norak, sok kebarat-baratan. Mendingan saya nyewa film barat aja deh sekalian,” ucapku sambil beralih ke rak-rak DVD bagian film barat.

Beberapa menit aku memilh-milih, akhirnya kuputuskan untuk menyewa lima judul film barat: dua film misteri, satu action, dan dua komedi. Segera kubawa sampul film-film itu ke Mbak Atiek di counter.

“Ini aja?” tanyanya.

“Iya, ini aja.”

Ia segera mencatat judul-judul film itu dan mengambilkan beberapa piringan dari sebuah lemari besar. Ia memasukkan piringan-piringan itu ke dalam sampul-sampul CD berwarna putih polos bertuliskan “The Watcher DVD”, kemudian meletakkan sampul aslinya kembali ke rak yang ada tulisan “Keluar”.

Setelah membayar, akupun pulang ke tempat kost sambil membawa lima keping DVD yang baru kusewa. Setelah meletakkan tas, aku segera meraih telepon genggam.

“Halo? Eh, Don. Ntar malem lo ada acara nggak? Gimana kalo ntar lo ajak anak-anak nonton DVD di kost-an gue? Apa? Bukan, bukan film Hentai. Oh, gitu. Jadi lo nggak bisa? Hah, kalo film Hentai bisa? Suek lo!!”

“Halo? Oi, Ben, ntar malem lo ada acara nggak? Gue rencananya mau ngajakin anak-anak nonton film di kost-an gue, gimana? Oh, lo udah ada janji ama cewek lo? Ya udah, nggak apa-apa. Si Dodon juga nggak mau tuh. Apa? Ngajak cewek gue aja? Males ah, kalo ketahuan Ibu Kost, bisa repot nanti.”

“Halo? Poltak ya? Lagi ngapain lo? Ntar malem nonton film yo! Di kost-an gue. Belom tau sih mau ngajak siapa aja, soalnya Dodon sama Beben katanya nggak bisa. Kalo lo gimana? Hah? Kerjaan? Kerjaan apaan? Besok kan libur. Bisnis? Bisnis apa? Em-El-E... Oh enggak deh. Makasih, kayanya gue nggak tertarik. Iya, bener. Eh sorry, HP gue udah low-bat nih. Bener kok. Kalo misalnya gue berubah pikiran pasti gue hubungin. Eh, dikit lagi mati nih. Udah dulu ya.”

“....”

“Halo, Dina. Lagi ngapain, Say? Oh, gitu. Nanti malem kamu ada acara nggak? Mmmm ... bukan sih, aku juga lagi males jalan keluar nih. Gimana kalo nonton film bareng-bareng aja? Bukan, bukan di bioskop, kan aku udah bilang kalo aku lagi males jalan. Ya di kost-an aku. Haaah ... kamu jangan mikir yang jelek-jelek dulu dong, film biasa kok, film action sama komedi. Sumpeh, bukan yang aneh-aneh. Iya, aku tau ini kosan cowok. Caranya? Ya, kamu kan tinggal nyamar jadi cowok,” ... tuut ... tuut ..., “halo? Dina?”

Dengan rasa kesal, aku langsung membanting handphone ku – ke atas kasur tentunya. Menyebalkan sekali kalau harus nonton film sendirian. Memang ini salahku juga, harusnya aku memastikan dulu apakah ada yang bisa diajak nonton atau tidak.

Kuambil kantong plastik berisi film-film yang tadi kusewa, kuperiksa satu persatu. Kira-kira yang mana yang akan kutonton lebih dulu ya? Tunggu dulu. Tiba-tiba saja perhatianku teralih pada satu keping DVD yang tampak aneh. Kuperhatikan label dan bagian bawahnya. Ini bukan salah satu DVD yang kusewa tadi. Kalau melihat dari labelnya, ini kan DVD RW yang biasa dipakai untuk merekam. Apa ini DVD bajakan yang lupa diberi label ya? Tapi di labelnya tertulis dengan spidol hitam, “Tsumi”. Seingatku aku tidak meminjam film yang berjudul “Tsumi”, pasti Mbak Atiek salah mengambil DVD. Kuperiksa judul-judul film yang lain, ternyata memang ada satu film yang kurang. Film laga berjudul “Forbidden Republic”, yang tadi kupilih tidak ada! Pasti tertukar dengan film ini. Makin menyebalkan saja.

Dengan terpaksa, tiga hari libur berturut-turut itu kuhabiskan untuk menonton film di kamar, sendirian. Film-filmnya memang lumayan seru dan menghibur, tapi aku malah merasa kesepian. Teman-temanku hampir semuanya sudah punya acara masing-masing. Sedangkan Dina, pacarku, masih ‘ngambek’ gara-gara kejadian di telepon, waktu aku menyuruh dia menyamar jadi laki-laki agar bisa masuk ke kamarku.

Hari Selasa pun tiba. Pulang kuliah, aku berencana untuk mengembalikan DVD yang kusewa. Memang, dari kelima film itu masih ada satu yang belum kutonton, yaitu film salah ambil itu. Selain karena tidak ada waku, aku juga tidak tertarik untuk menontonnya. Buat apa menonton film yang tidak kuinginkan? Kalau kuberitahu Mbak Atiek, mungkin aku boleh menukarnya dengan film lain, soalnya ini kan murni kesalahan dia.

Aku tiba di depan The Watcher Rental DVD. Tutup. Pintunya tertutup rapat, tak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Aneh sekali, tidak biasanya mereka tutup di hari kerja begini. Apa mungkin Mbak Atiek dan kakaknya sama-sama sedang sibuk, sehingga tidak ada yang menjaga counter? Ah, sudahlah. Karena ini bukan salahku, seharusnya aku tidak dikenakan denda. Akupun segera pulang, dan berniat untuk kesini lagi besok.

Esoknya, The Watcher masih tutup. Karena khawatir dikenai denda, aku mengecek tempat itu hampir setiap hari. Sampai sudah dua minggu berlalu, tak satu hari pun mereka buka. Apa mereka sudah pindah ya? Ataukah mereka bangkrut dan tidak bisa membayar sewa bangunan? Sebenarnya aku merasa tidak enak juga, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak tahu nomor telepon salah satu dari mereka, aku juga tidak tahu bagaimana cara menghubungi mereka.

Dengan putus asa, kubiarkan saja film-film sewaan itu tergeletak di sudut kamar tanpa berusaha mengembalikannya. Bagaimanapun juga, ini bukan salahku, mereka pindah sebelum aku sempat mengembalikannya.

Beberapa minggu kemudian, saat hari libur dan cuaca di luar sana sedang hujan deras, aku tidak ada kerjaan dan hanya tidur-tiduran di kamar. Rasanya membosankan sekali, aku tidak tahu harus melakukan apa. Sambil memandangi langit-langit kamar, aku bersenandung kecil. Tiba-tiba tanpa sengaja tanganku menyenggol setumpuk DVD di samping tempat tidurku. Aku memeriksa benda-benda itu. Film-film dari The Watcher yang belum aku kembalikan sampai sekarang. Kuambil salah satu keping DVD itu. Oh iya, film berjudul “Tsumi” ini kan belum sempat aku tonton. Walau rasanya aku tidak bergairah sama sekali untuk menontonnya, tapi aku segera bangkit dan menyalakan komputer. Daripada tidak ada kerjaan, pikirku. Siapa tahu ini DVD pribadi milik Mbak Atiek? Aku tertawa geli sambil mulai berpikir agak ngeres.

Kumasukkan DVD aneh itu, dan kubuka program Media Player di komputerku. Kutekan tombol “Play” di monitor dengan menggunakan mouse. Beberapa detik kemudian, sesuatu yang ada di dalam DVD itu pun mulai muncul di hadapanku.

Mataku terbelak, keringat dingin keluar dari seluruh tubuhku.

Sementara jantungku serasa berhenti berdetak, kepalaku terasa pusing bukan main. Ini benar-benar tidak masuk akal!

Hujan deras mengguyur jalanan dan membasahi tubuhku. Seminggu yang lalu aku menghilangkan payungku, dan kini aku harus berlari di tengah derasnya tikaman hujan. Rambut dan pakaianku basah kuyup, sementara tanganku berusaha melindungi sebuah DVD yang kubungkus di dalam plastik. Aku berlari secepat mungkin, dengan ketakutan yang luar biasa, ke arah rental DVD The Watcher. Aku harus mendapat penjelasan atas semua ini. Ini adalah hal paling menakutkan yang pernah kualami dalam hidupku.

TOK! TOK! TOK!

Kuketuk pintu The Watcher. Walau tempat itu terlihat tutup dan kosong, aku tak peduli, aku harus mencobanya dulu. Kuketuk lagi beberapa kali, tetap tak ada jawaban.

“Mbak Atiek! Mas Rojib!” aku berteriak sekeras mungkin, siapa tahu salah satu dari mereka ada di dalam.Tetap tak ada jawaban apapun dari dalam. Tak ada suara apapun selain suara hujan yang menghantam jalanan yang sepi.

Tubuhku terasa lemas, nafasku terengah-engah karena berlari tadi. Kuusap wajahku yang basah oleh air hujan, pelan-pelan aku terduduk di depan pintu itu. Kutatap DVD di balik kantong plastik yang kubawa. Tatapanku menjadi kosong, ada air yang menetes dari kedua mataku. Apakah itu air hujan? Ataukah air mata? Kalau itu air mata, apakah artinya aku menangis? Menangis karena apa? Karena takut? Karena malu? Karena bingung?

Sesaat setelah kutekan tombol “Play”, sesuatu yang tak pernah terbayangkan muncul di layar komputerku. Memang, seperti dugaanku, film berjudul “Tsumi” itu adalah sebuah film rekaman pribadi. Saat gambar pertama muncul, aku pun dapat meyakini kalau film itu diambil dengan menggunakan handycam, bahkan tanggal dan jam pengambilan gambarnya pun masih tercantum di layar. Tapi, kengerian yang sebenarnya baru muncul ketika aku menyadari siapa manusia yang menjadi objek di film itu.

Yang pertama kali kulihat di layar adalah ... aku. Ya, maksudku aku benar-benar ada di layar! Aku ‘ada’ di dalam film itu! Di dalam film itu aku berada di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, dan tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa tempat itu adalah kamar kost-ku sendiri. Bedanya, kamarku yang ada di film itu terlihat masih rapi dan agak kosong. Aku ingat! Ini adalah saat aku baru pindah ke tempat ini! Sesaat setelah orangtuaku pergi, dan aku tinggal sendirian. Kulihat apa yang aku lakukan di dalam film itu. Aku mengambil setumpuk majalah porno yang kusembunyikan di dalam kardus, dan kuletakkan di atas lemari.

Adegan berpindah, tanggal dan waktu yang tertera di layar pun ikut berubah. Kini yang aku saksikan adalah sosok aku yang sedang asik menonton film biru di depan komputer di dalam kamar, sendirian. Aku masih ingat kejadian itu, sudah agak lama juga. Film biru itu masih kusimpan sampai sekarang.

Bukan saatnya mengingat hal itu! Ini menakutkan! Seseorang merekam kegiatanku di dalam kamar! Kuamati sudut pengambilan gambar di film itu, aku tahu dari mana film ini direkam. Pasti seseorang memasang kamera tersembunyi di kamar ini! Tanpa menghentikan film, aku segera melompat ke atas kasur, memeriksa sisi atas dinding yang dihimpit oleh lemari pakaian. Kalau melihat sudut pengambilan gambar di film, aku yakin di sinilah kamera tersembunyi itu seharusnya terpasang. Kuamati tempat di sekitar dinding itu, aku tak menemukan suatu benda apapun yang mencurigakan, hanya sebuah noda hitam di dinding seperti bekas terbakar.

Aku menoleh lagi ke layar komputer, ke arah film yang masih berlanjut. Tiba-tiba saja kakiku lemas, seluruh tubuhku merinding. Ternyata ‘pengawasan’ itu bukan hanya terjadi di kamarku saja! Tampaknya seseorang mengikutiku dan merekam setiap kelakuan burukku!

Adegan yang kulihat di monitor sekarang adalah aku yang berada di teras sebuah rumah. Aku tahu, ini adalah rumah Dina. Aku duduk di sebelah Dina dan merangkul pundaknya. Beberapa saat kemudian terlihat adegan aku berusaha mencium bibir gadis itu. Dina menolak. Ya, aku masih ingat dengan jelas kejadian waktu itu. Watku itu aku datang ke rumah Dina saat kedua orangtuanya sedang tidak ada di rumah, dan aku lepas kendali, mencoba memanfaatkan keadaan. Terlihat adegan saat aku berusaha merayu Dina. Aku terduduk lemas melihat tayangan itu. Ada bagian di dalam diriku yang merasa malu menyaksikannya.

Beberapa detik kemudian, adegan berpindah lagi. Kali ini di sebuah tempat parkir yang sepi, hanya ada aku di antara barisan sepeda motor. Terlihat aku berjongkok di samping sebuah sepeda motor berwarna merah. Aku mengeluarkan sebuah paku besar dan menusukkannya ke ban sepeda motor itu. Aku ingat, itu adalah sepeda motor Vandy. Waktu itu aku cemburu pada Vandy karena ia ingin merebut Dina dariku, maka sepulang kuliah aku mengempesi ban sepeda motornya.

Adegan berubah lagi. Masih di tempat parkir, namun kini di tempat parkir mobil. Terlihat aku mengeluarkan sebuah pisau kecil dari saku celanaku, lalu aku menggoreskan pisau itu ke sebuah mobil berwarna hitam, membuat sebuah goresan yang dalam dan panjang melintasi bagian samping tubuh mobil itu. Itu adalah mobil Pak Galuh, salah seorang dosen di kampusku. Waktu itu adalah akhir semester, aku marah karena ia menuduhku sering membolos, padahal aku sudah memberikan surat izin sakit, tapi ia malah mengira kalau surat itu palsu. Akhirnya aku tidak lulus di mata kuliah itu, dan aku balas dendam dengan merusak mobilnya.
Sekali lagi adegan berganti, memperlihatkan aku yang sedang bersama teman-temanku.

“Cukup!” aku berteriak sendirian seperti orang kesetanan.

Aku segera meraih mouse dan menekan tombol “Stop”. Film itu berhenti. Aku tidak tahan lagi melihat semua ini, amat menakutkan. Keringat dingin membasahi tubuhku ketika aku mengeluarkan DVD itu dan mematikan komputer.

Hujan deras tak juga mau berhenti. Hujan itu amat deras, seakan merayakan ketakutan dan ketidakberdayaanku saat ini. Aku masih terduduk lemas di depan pintu The Watcher yang masih juga belum menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Kali ini aku sudah dapat memastikan kalau yang mengalir di pipiku ini adalah air mata. Kugunakan tanganku untuk menyekanya. Aku harus tetap tenang dan berpikir rasional, pikirku.

Kira-kira siapa yang bisa merekam segala aktivitasku seperti itu? Apakah satelit? Tapi apa iya, satelit bisa melihat menembus tembok? Lagipula jelas-jelas kalau itu adalah rekaman handycam. Atau mungkin ada seorang mata-mata profesional yang dapat memasang kamera tersembunyi di dalam kamarku, dan mengikuti gerak-gerikku sambil menenteng handycam? Tapi untuk apa? Aku kan bukan penjahat yang harus dimata-matai? Atau mungkin ... wartawan? Oh iya, mungkin paparazzi? Mustahil! Aku bukan selebritis!

Setiap kemungkinan yang aku pikirkan tampak tidak masuk akal. Di tengah kebingunganku, aku teringat kata-kata ibuku ketika aku masih kecil dulu.

“Nanti ya, Ray, di akhirat semua orang bakal dikasih liat semua perbuatan dosanya,” ucap ibuku kepadaku yang waktu itu masih SD.

“Dikasih liat, maksudnya gimana, Ma?” tanyaku.

Aku ingat, waktu itu aku sedang persiapan ujian pelajaran Agama di sekolah, ibuku bercerita macam-macam.

“Iya, dikasih liat. Di akhirat ada layar besar lho, kaya di bioskop. Terus orang itu bakal disuruh nonton jadinya dia nggak bisa bohong lagi.”

“Lho, kok bisa? Emangnya siapa yang ngerekam filmnya, Ma?”

“Ya ampun, Ray, gimana mau dapat nilai bagus nih ujiannya? Masa gitu aja kamu lupa? Kan udah Mama ceritain, kalau di samping kanan dan kiri setiap orang itu, ada malaikat yang selalu mengawasi dan mencatat perbuatan kita!”
JGERR!!!
Sebuah suara halilintar yang amat keras memecah lamunan tentang masa kecilku. Aku kembali tersadar, kini aku ada di depan pintu The Watcher yang tak juga terbuka. Hujan masih terus turun. Apakah aku duduk terdiam di sini untuk menunggu hujan sampai reda? Ataukah aku duduk terdiam karena terlalu lemas untuk berdiri?

Tiba-tiba seorang ibu-ibu berpayung berhenti di depan teras bangunan itu. Tampaknya ia heran melihatku yang berada di sini dengan pakaian yang basah kuyup.

“Dik, nyari siapa? Nyari Mbak Atiek ya?”

Aku berusaha untuk bangkit dan menjawab pertanyaan ibu itu, “Iya, Bu. Ibu tau sekarang Mbak Atiek atau Mas Rojib ada dimana?”

“Saya juga nggak tau. Mereka nggak bilang pindah kemana. Kata anak-anak yang suka nongkrong di deket sini sih, rental ini udah disewa orang lain dan sebentar lagi mau dijadiin rumah makan.”

Aku nyaris putus asa mendengarnya. Ternyata percuma saja aku bolak-balik ke tempat ini, aku tak akan menemukan mereka di sini.

Beberapa menit setelah ibu itu pergi, hujan mulai reda dan hanya menyisakan gerimis. DVD “Tsumi” itu masih kupegang erat di balik kantong plastik yang basah. Di dalam hatiku, ada keinginan untuk mencari keberadaan Mbak Atiek dan Mas Rojib. Mungkin saja mereka tahu asal-usul rekaman ini.

Aku melangkah keluar dan berniat kembali ke tempat kost. Genangan air menghiasi setiap langkah kakiku. Hujan sudah berhenti sekarang, tapi langit masih mendung. Saat itulah mereka berdua muncul. Ya, mereka adalah Mas Rojib dam Mbak Atiek. Wajah mereka terlihat datar dan tidak enak untuk dipandang. Entah kenapa kaki ku terasa bergerak sendiri - membuatku mundur beberapa langkah kebelakang dengan tak teratur - aku pun terjatuh.

"Apa kau sudah mengakuinya?" mereka berbicara bersamaan.

"A-Apa maksudnya ini?" Suaraku terdengar gemetar, namun sebenarnya aku mencoba berteriak kepada mereka.

"Rayhan Maulana... Apa kau lupa?"

Lagi-lagi mereka berbicara bersamaan, kini suara mereka mulai bergema di pikiranku.  Berbagai gambaran aneh bermunculan didalam kepalaku seiring gema suara itu. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak untuk mendengar kalimat selanjutnya. Jadi, Aku menutup kedua telinga dan terus meneriakan kata "Diam!". Namun mereka tampak tak perduli. Aku sudah tahu apa yang hendak mereka katakan, sebelum akhirnya mereka sendiri yang mengatakannya...

"Kau sudah mati."


http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html