Smile For Me
Manusia
memiliki mimpi.
Ada yang
mengejar dan mewujudkannya,
ada yang
mundur dan membuangnya,
ada pula
yang diam dan hanya menyimpannya selama sisa hidupnya.
Jika itu
Luna Prisha, mungkin dia adalah tipe yang terakhir.
First
Hari ini
memiliki cuaca yang cerah dengan mentari yang menyebarkan kehangatan melalui
udara, pohon-pohon sedikit bergerak karena tertiup angin pagi, menambah sejuk
udara yang dihirup setiap orang. Walau sebenarnya, udara di Ibukota ini sudah
tercemar oleh polusi.
Kondisi jalan sudah ramai dengan kendaraan dan pejalan kaki. Kau bisa melihat segerombolan anak-anak SD pergi ke sekolah bersama-sama, juga banyak orang-orang berpakaian rapi terduduk di bangku sebuah Halte dengan wajah tidak sabar.
Kondisi jalan sudah ramai dengan kendaraan dan pejalan kaki. Kau bisa melihat segerombolan anak-anak SD pergi ke sekolah bersama-sama, juga banyak orang-orang berpakaian rapi terduduk di bangku sebuah Halte dengan wajah tidak sabar.
Pukul 06.50 di depan sebuah sekolah,
seorang gadis berseragam abu-abu terlihat turun dari sebuah mobil sport. Dia berbicara
sebentar kepada pengemudi mobil itu, wajahnya tampak seperti sedang merajuk.
Beberapa saat kemudian mobil itu pergi, gadis itu berjalan santai memasuki
gerbang sekolah. Nama ‘SMA Harapan Negeri’ terukir di atas sana. Dia mendatangi
Pos Security dan berbicara dengan salah seorang petugas yang sedang berjaga saat itu. Rupanya dia ingin diantar ke ruang guru karena ia tidak tahu letaknya. Hal itu mengungkapkan bahwa dia bukanlah salah satu murid
dari sekolah ini. Mungkin saja dia murid pindahan atau semacamnya.
Sambil
merapikan rambutnya yang diikat “Twintail” ia berjalan mengikuti petugas
Secutity, wajahnya ia tundukkan ke bawah sambil sesekali memandang ke arah
depan, bibirnya ia kerutkan secara gugup, tangannya menggenggam tali tas
berwarna hitam yang ia gantungkan di bahu sebelah kiri. Ia memeriksa seragamnya untuk memastikan kalau penampilannya sudah benar-benar rapih.
Ahh, padahal
hanya menuju ke ruang guru, tapi aku sudah gugup sampai seperti ini. Mungkin
itulah yang dipikirkannya saat itu.
Keadaan di luar
gedung sekolah sudah mulai sepi, sepertinya jam pelajaran baru saja dimulai. Gadis
itu kini berada di depan sebuah kelas bersama dengan seorang wanita berpakaian
rapi dan berkacamata, tertera angka 12-3 di pintunya, mungkin ini menjadi
kelas yang akan ia tempati di sekolah ini. Suara gaduh yang terdengar dari luar kelas mendadak
berhenti ketika sosok wanita berkacamata itu memasuki ruangan. Ia meletakan
beberapa buku diatas meja, kemudian menatap seisi kelas dengan wajah serius.
Dilihat dari penampilannya, kau bisa tahu kalau dia adalah guru sekaligus wali
kelas kami. Namanya adalah Bu Anggun.
Sambil membetulkan
kacamatanya Bu Anggun mulai berbicara, “Anak-anak sekalian, hari ini kita kedatangan
murid baru, dia mulai mengikuti pelajaran di kelas kita hari ini juga.”
“Murid
barunya Pria atau Wanita, Bu?” celetuk salah seorang murid laki-laki, sontak
seisi kelas menyorakinya sehingga suasana kembali ramai.
“Harap
tenang anak-anak sekalian, kalian akan punya kesempatan untuk berkenalan
dengannya nanti.”
Kemudian Bu Anggun mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke
dalam kelas. Dia berjalan masuk ke dalam kelas diikuti dengan pandangan semua
penghuni kelas yang penasaran. Betapa terlihat tegang dan gugup dia ketika
berdiri di depan papan tulis saat itu. Dia berdiri dengan tangan saling
menggenggam rapi ketika cahaya matahari menyinari wajahnya yang kemerahan
melalui jendela kelas. Rambut hitam sebahu yang ia ikat 'Twintail' tampak mengkilap, kulit putihnya tampak terang meski dibalut dengan seragam SMA-nya. Wajahnya yang blasteran Asia-Australia terlihat imut membuat seisi kelas terdiam, seolah
melihat sosok malaikat di hadapan mereka.
“Tolong
perkenalkan namamu dan asal sekolah kamu,” perintah Bu Anggun dengan nada tegas.
Matanya
yang tidak berkedip terbuka lebar dan melihat ke satu titik di depannya. Gadis
itu menarik nafas dalam-dalam, lalu mulai berbicara, “Hallo teman-teman, perkenalkan
nama ku Luna Prisha, nama panggilan ku “Una”, saya murid pindahan dari
Australia.”
“Hallo
juga Una, boleh aku minta Nomor mu?” lagi-lagi salah seorang murid laki-laki
menyeletuk, sehingga seisi kelas menyorakinya, namun kali ini suara para siswi lah
yang terdengar paling jelas. Bu Anggun hanya menggelengkan kepala melihat
tingkah murid-muridnya. Sementara Luna memaksakan senyum sebagai cara untuk
menahan rasa malunya.
“Silahkan
kamu duduk di kursi yang kosong itu,” perintah Bu guru.
“Baik, Bu.” Luna menjawab, lalu berjalan menuju kursi yang ditunjuk Bu guru. Ia duduk di barisan kedua dari meja guru, di kursi urutan kedua dari belakang yang berjarak satu baris dari jendela. Di sampingnya sudah ada seorang gadis. Luna sangat lega karena mendapatkan teman duduk yang sejenis.
“Baik, Bu.” Luna menjawab, lalu berjalan menuju kursi yang ditunjuk Bu guru. Ia duduk di barisan kedua dari meja guru, di kursi urutan kedua dari belakang yang berjarak satu baris dari jendela. Di sampingnya sudah ada seorang gadis. Luna sangat lega karena mendapatkan teman duduk yang sejenis.
“Hai Una,” gadis itu menyapa, “Namaku Dina,
salam kenal ya.”
Mereka
berjabat tangan disambut dengan senyuman hangat dari keduanya.
“Kamu beneran dari Australia?” Dina bertanya padaku.
“Iya, aku bersekolah disana dari SD sampai SMP. Karena suatu alasan, aku pindah ke Jakarta pada tahun ketiga SMA, dan bersekolah disini.” Luna menjelaskan.
“Oh, kenapa kamu memilih sekolah ini?” Dina bertanya lagi
“Tidak ada alasan khusus. Hanya saja, sekolah ini letaknya yang paling dekat dengan rumah ku.” Luna menjawab.
“Oh, begitu. Luna, semoga nanti kita bisa akrab ya,” Dina tersenyum tipis, “Ups, lebih baik sekarang kita perhatikan Bu guru yang mulai mengajar, atau kita akan kena masalah.”
“Kamu beneran dari Australia?” Dina bertanya padaku.
“Iya, aku bersekolah disana dari SD sampai SMP. Karena suatu alasan, aku pindah ke Jakarta pada tahun ketiga SMA, dan bersekolah disini.” Luna menjelaskan.
“Oh, kenapa kamu memilih sekolah ini?” Dina bertanya lagi
“Tidak ada alasan khusus. Hanya saja, sekolah ini letaknya yang paling dekat dengan rumah ku.” Luna menjawab.
“Oh, begitu. Luna, semoga nanti kita bisa akrab ya,” Dina tersenyum tipis, “Ups, lebih baik sekarang kita perhatikan Bu guru yang mulai mengajar, atau kita akan kena masalah.”
Pelajaran
pertama pun dimulai, semua murid di kelas bersikap serius sambil memperhatikan
Bu Anggun yang sedang menerangkan materi. Namun belum lima menit berlalu,
terdengar suara seseorang mengetuk pintu kelas. Bu Anggun serta semua murid di
kelas menoleh ke arah pintu, di sana tampak seorang siswa yang sepertinya
datang terlambat, wajahnya terlihat muram seperti orang depresi dan kelopak
matanya sedikit menghitam seperti orang yang kurang tidur. Dia berjalan
menghadap Bu Anggun dan meminta maaf atas keterlambatannya. Bu Anggun pun
memaafkannya dan mempersilahkannya duduk, lalu kembali menerangkan materi
pelajaran. Ia berjalan menuju kursi paling belakang didekat jendela kelas, yang
hanya berjarak beberapa meter dari tempat Luna.
Luna
memperhatikan murid yang terlambat itu dengan sedikit rasa tertarik, mata
mereka tiba-tiba bertemu, membuat Luna terkejut sekaligus merinding. Memang
sorot mata yang tajam dan menakutkan, namun terlihat kosong.
Huuwaa....
menyeramkan sekali orang itu. Luna berbicara di dalam hati. Kemudian Luna berbisik kepada Dina, “Erm,
Dina. Siapa siswa yang tadi datang terlambat?” tanya Luna.
“Ah
dia ya, dia itu... Namanya Rio,” Dina menjawab.
“Rio ya...
Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Kenapa wajahnya seperti orang depresi begitu?”
Luna kembali bertanya.
Dina
tidak langsung menjawab, “Yah, dia sudah
seperti itu akhir-akhir ini. Padahal sebelumnya dia itu merupakan orang yang
ceria, pandai dalam pelajaran dan juga olahraga. Namun semuanya berubah sekitar
dua bulan yang lalu. Keluarganya mengalami kecelakaan fatal saat liburan akhir semester,” Dina berhenti
sejenak untuk menarik nafas, “Peristiwa itu telah menyebabkan Ibunya meninggal
dunia. Kemudian Rio berubah menjadi seperti sekarang ini.”
“Jadi
begitu ya,” Luna mengangguk paham dan kembali bertanya, “Hm, Dina. Apa
sebelumnya kamu akrab dengannya?”
“Entahlah,
sebenarnya aku tinggal di sebelah rumahnya.” Dina berbisik pelan.
Luna
menjadi sedikit tertarik setelah mendengar cerita Dina, gadis itu memainkan
rambutnya sambil memikirkan sesuatu.
Bel
tanda Istirahat pun berbunyi. Tanpa disadari, Dina sudah menghilang dari tempat
duduknya. Ehhhh... sejak kapan dia menghilang? Luna berbicara dalam pikirannya.
Beberapa saat kemudian, tempat duduk Luna sudah ramai dikerumuni seluruh murid
di kelasnya. Yah, beginilah nasib murid
baru di hari pertama mereka bersekolah. Mereka yang mengerumuni gadis itu
menanyakan berbagai macam hal mengenai dirinya atau mengenai tempat dia tinggal
dulu. Sungguh melelahkan menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Parahnya, hal
itu berlangsung selama jam istirahat, Lala membuat Luna tidak sempat memakan
bekal makan siangnya.
Jadi,
itulah mengapa Dina menghilang tepat setelah bel istirahat berbunyi. Ia tahu
kejadiannya akan seperti ini, dan dia memilih untuk melarikan diri.
Jahat sekali, benar-benar tidak bertanggung jawab!
Jahat sekali, benar-benar tidak bertanggung jawab!
Bersambung...
0 komentar:
Post a Comment