Indonesia, 15 Februari 2016...
Laki-laki yang percaya bahwa hanya dengan satu sentuhannya saja,
dunia bisa ia kendalikan sesuka hati. Mengayun-ayunkan tangannya,
menari-narikan jemarinya, ia bisa mengubah dunia dengan mudah.
Menciptakan sesuatu, menghapus sesuatu, menodai, menggores, dunia yang
ia ubah bisa berupa apapun, sekalipun itu sangat buruk.
Bukan
sebuah kekejaman, bukan juga sebuah kearoganan, namun hanya kehendak,
itu saja. Hatinya beku, tidak ada yang menghangatkan, sekalipun dirinya
sendiri. Ia sudah berulang kali menembus dinding pembatas antara dunia
damai dengan dunia kehancuran. Menciptakan dan menghancurkan sesuatu
tidak akan menggoyahkan dirinya lagi.
Manusia diciptakan untuk bisa beradaptasi, dan ia sudah terbiasa oleh itu.
Tetapi
sekuat apapun manusia mencoba untuk menjadi dingin, jauh di dalam
dirinya sesuatu pasti perlahan hancur kelak. Hanya memendam dan meledak
ketika tidak bisa ditampungnya lagi. Rasa penyesalan tidak bisa abaikan
olehnya, membuat dirinya ingin sekali berhenti. Tidak hanya sekali, ia
sudah berkali-kali mencoba untuk berhenti. Namun ia terlambat, kecanduan
dalam dirinya tidak bisa hilang begitu saja.
Dan itu terus membuatnya menciptakan dunia,
dunianya sendiri.
Ya,
dunia ciptaannya berbeda dengan dunia yang ditinggali oleh manusia
lain. Sepi, tentram, dan berangin adalah sesuatu yang dirasakan oleh
seseorang yang melihat dunianya. Tidak ada siapapun, tidak ada
seorangpun, hanya dirinya dan panorama. Menyisakan perasaan yang tidak
biasa ketika seseorang selesai melihat dunia itu.
Tidak
ada yang aneh, tidak ada pula yang bisa dipertanyakan. Itu hanya
khayalan, keinginan semu seorang laki-laki yang lari dari dunia yang
sesungguhnya. Meninggalkan semua yang belum dan sudah dicapainya,
meninggalkan semua yang ada di sekililingnya, ia memaksa diri untuk
tidak merasa membohongi dirinya sendiri. Ya, ia tidak mengakuinya.
Bahkan ia menghapus kata-kata “membohongi diri sendiri” dari ingatannya
yang samar-samar itu. Ia tenggelam di dalam mimpi.
Ia tidak bisa tinggal di dunia yang sesungguhnya.
Sekuat
apapun manusia beradaptasi, jauh di dalam dirinya sesuatu pasti akan
hancur. Bagaimanapun juga, dunia yang sesungguhnya bukanlah untuknya,
itu yang ia pikirkan. Berlama-lama di tempat itu hanya akan membuatnya
perlahan membusuk.
Apapun yang akan diraihnya pasti akan
hilang darinya. Itu bukan kegagalan melainkan kesengajaan. Tidak ada
yang mengizinkannya untuk mendapatkan sesuatu, sekalipun itu orang
terdekatnya. Senyum manis yang ia hadapi bukanlah teman, semuanya adalah
ilusi. Itulah yang membuatnya selalu melakukan apa yang ia anggap
benar, sekalipun semua orang menentangnya. Ya, ia hanya percaya pada
dirinya sendiri.
Tidak ada yang menolong, bahkan tidak ada
yang peduli dengannya meskipun hanya satu detik saja. Semuanya acuh,
berpikir hanya malapetaka yang akan mereka dapat jika berurusan
dengannya. Tanpa disadari tercipta dinding pembatas yang memisahkannya
dengan semua orang. Ia sudah dianggap sebagai sesuatu yang berbeda
dengan mereka.
Itu bukan salahnya, ia sama sekali tidak
bersalah. Bahkan ia tidak pernah membunuh seekor semut sekalipun.
Tangannya bersih, belum ada noda satupun yang membuatnya pantas untuk
menerima hal menyakitkan itu. Merasa atau tidak, logikanya tidak pernah
bisa menerima kenyataan bahwa dirinya pantas menerimanya.
Itu bohong.
Itu omong kosong.
Itu bukanlah keadilan, jauh dari logika.
Ironis,
dinding pembatas yang diciptakan oleh semua yang ada di sekililingnya
membuatnya nyaman duduk sendirian di sudut ruangan setiap hari. Meski ia
memiliki banyak waktu luang di sudut itu, ia tidak pernah bisa
menemukan jawaban atas kesalahannya, bahkan ia tidak pernah merasa
melakukan sesuatu yang keji. Menyendiri dan berpikir, ia menjalani
hidupnya tanpa arah dengan hal yang tidak berguna. Hingga pada akhirnya,
ia tahu akar dari semuanya.
Sekali lagi, itu bukan
salahnya, ia sama sekali tidak bersalah. Kalaupun memang demikian, lahir
di keluarga itu adalah sebuah kesalahan besar. Tidak, jika mereka
sanggup lolos. Namun sebaliknya, mereka membuat kehidupan seseorang yang
masih bersih dan mungil hancur begitu saja tepat saat ia mulai
mengambil nafas pertamanya.
Ia tidak terkutuk.
Ia bukan keturunan iblis.
Ia bahkan tidak meminta hal itu.
Selalu
mencoba menjalani kehidupannya dengan sangat baik, ia selalu terjatuh.
Bukan karena kegagalannya melainkan karena kesengajaan orang di
sekelilingnya. Ia tidak tahu apa-apa, hanya mengerti bahwa hidup memang
tidak mudah. Tapi ia keliru, itu bukan karena hidup memang tidak mudah
melainkan semuanya membuat hidupnya tidak mudah.
Kepolosannya
tidak bisa membuatnya mengerti saat itu, hanya seperti anak domba yang
tersesat. Ia hanya bisa menerima semuanya bulat-bulat. Sendirian
berjalan, itu sudah seperti bagian dari dirinya. Tidak ada yang
menemani, bahkan ia sendiri tidak menginginkan seseorang menemaninya. Ia
nyaman sendiri, sekali lagi itu sudah seperti dirinya sendiri.
Ia tidak bisa melupakannya hingga kini.
Mengayun-ayunkan
tangannya, menari-narikan jemarinya, ia menciptakan berbagai macam
dunia. Tidak hanya malam, apapun musimnya, apapun cuacanya, apapun
tempatnya, dengan mudah ia ciptakan selaras dengan nafasnya yang
beraturan. Sesuka hati, sebanyak mungkin, hingga ia puas dan masuk ke
dalam dunianya tersebut.
Mengunci dirinya dalam-dalam di
dunianya tersebut, ia tidak ingin kembali ke masa lalu maupun masa kini.
Sama saja, ia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan. Dunia yang
sesungguhnya tidak pantas untukknya, itu yang ia pikirkan. Hanya
menambah kesedihan dan menanamkan beban yang lebih berat saja, tidak ada
gunanya ia berada di dunia yang sesungguhnya. Jadi, ia mencoba untuk
memalingkan wajahnya dari dunia itu.
“Ada orang di dalam?”
Suara
itu ia abaikan. Ia masih duduk di sudut ruangan dan itu yang selalu ia
lakukan. Menatap kosong udara yang ada di ruangan yang sempit, ia
seperti tidak bernyawa lagi. Jiwanya mati dan tidak ada yang
menolongnya. Bila saja ada cahaya hangat yang menyentuh permukaan
kulitnya, mungkin masih ada kemungkinan untuknya tersenyum.
“Halooo,
ada orang?” Laki-laki yang dari tadi berteriak dari luar ruangan itu
lama-lama mengecilkan volume suaranya. Wajar saja, ia sudah berulang
kali berteriak dan tidak ada seorangpun yang menanggapi. Pekerjaan yang
saat melelahkan jika berhadapan dengan pemilik ruangan seperti itu.
Jadi, itu adalah teriakan terakhirnya untuk ruangan itu.
“Hmmm, percuma, aku menyerah. Lebih baik aku masukkan saja lewat celah di bawah ini.”
Laki-laki
itu memasukkan selembar kertas ke dalam lubang yang ada di bagian
bawah pintu ruangan itu. Ada sedikit harap darinya untuk
tersampaikannya kertas tersebut kepada pemilik ruangan itu. Namun apa
boleh buat, jikalau tidak, setidaknya ia sudah mencobanya. Jadi, tanpa
pikir panjang laki-laki itu pergi menjauh dari ruangan itu menuju ke
ruangan lainnya.
Meskipun sedikit, harapan tersebut terkabul.
Mendengar
sesuatu masuk melalui lubang suratnya, pemilik ruangan itu perlahan
berdiri. Tatapannya masih kosong, seperti tidak peduli dengan hal
tersebut. Hanya saja ia refleks melakukannya karena selama
bertahun-tahun tidak ada yang pernah memasukkan sesuatu ke dalam lubang
suratnya. Kalaupun ada, itu hanyalah selebaran-selebaran atau
lembaran-lembaran iklan tentang suatu produk atau pekerjaan. Itu saja
tanpa ada ketukan pintu, bahkan panggilan saja tidak. Jadi, muncul
harapan di dalam dirinya akan hal baru ini.
Diambilnya
kertas kecil itu dengan mudah meski ruangan itu gelap. Terlihat seperti
iklan, hal itu membuat harapan dalam dirinya redup. Hanya sebentar saja
ia memfokuskan pikirannya untuk membaca judul dari iklan itu sebelum
kemudian melepaskan kembali konsentrasinya. “Ecnahc…” adalah sebuah
kata yang pertama kali ia baca, sampai di situ ia sudah tidak
mempedulikan kelanjutannya.
Hanya sampah, pikirnya.
Ia
membalikkan badan dan berjalan kembali menuju sudut ruangan sembari
menatap kosong kertas kecil itu. Lambat dan tidak memiliki determinasi,
asalkan pada akhirnya sampai, ia tidak peduli. Ia tidak memerlukan
kemantapan diri, determinasi, kepercayaan diri, karena memang semua itu
tidak berguna dalam hidupnya. Ia hanya membutuhkan kreativitas, itu saja
yang bisa ia pikirkan.
Namun ia berhenti di tengah-tengah
ruangan, satu-satunya tempat yang menerima cahaya matahari dari
celah-celah atap. Baru saja ia memikirkan suatu hal dan kini ia ingin
menarik kalimatnya kembali. Ya, ia membutuhkannya, ia membutuhkan
determinasi, kemantapan diri, kepercayaan diri. Kali ini ia memang
mendapatkan kertas iklan yang tidak biasa.
Sudah saatnya untuk ia menyambut cahaya matahari.
Untuk
orang normal pada umumnya, membawa dompet dan berpakaian rapi adalah
hal yang dilakukan ketika meninggalkan rumah. Namun untuknya, ia hanya
mengambil sebuah buku coklat tebal yang selalu ada di sisinya itu. Buku
yang sudah seperti menjadi bagian dalam dirinya, selalu menopang
kehidupannya.
Buku itu adalah
Dunianya.
Tidak,
tidak ada yang aneh. Ia bukannya tidak normal ataupun sejenisnya. Ia
masih normal dan apa yang selalu ia lakukan adalah hal yang biasa saja.
Namun, keadaan yang membuatnya melakukan hal yang tidak biasa di mata
banyak orang, tetapi masih biasa di matanya sendiri. Itu menjadikannya
terlihat berbeda dengan yang lainnya.
Berkeliling tanpa
arah membuatnya tersesat. Bahkan ia tidak tahu arah mana ini dan arah
mana itu. Ini bukanlah dunianya, ia tidak terbiasa dengan dunia ini
lagi. Memaksanya untuk menggunakan intuisinya yang setajam elang, dunia
ini sangatlah kejam. Namun itu tidak ia rasakan terlalu lama karena pada
akhirnya ia menemukan pintu yang menggantungkan papan yang bertuliskan
“Ecnahc Dnoces”.
Tanpa disadari, ia sudah berdiri di
dalam ruangan yang cukup luas. Bisa ia lihat seseorang sedang duduk di
sebuah kursi hitam yang besar dengan meja kantor yang ada di depannya.
Meja itu berantakan. Buku-buku, alat tulis, gelas, semuanya tidak rapi
dan acak-acakan. Lebih berantakan daripada ruangan kecilnya yang gelap
itu.
Selain hal itu, terasa sangat sepi untuk ukuran
ruangan yang cukup luas. Ya, hanya ada seorang laki-laki, meja, kursi,
dan sebuah almari. Ia mulai meragukan kantor ini. Kotak tiket pun tidak
akan sesepi ini.
“Selamat datang di Ecnahc Dnoces! Ada
yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba dari belakang ia mendengar suara
seorang wanita yang cukup keras, memecah keheningan suasana, dan tentu
saja mengagetkannya hingga membuatnya menjauh beberapa langkah.
Dilihatnya
pemilik suara itu dengan cermat. Cantik, ramping, dan cukup tinggi,
wanita itu terlihat seperti model Korea. Namun ia tidak peduli, bukan itu yang
ia inginkan.
“Ah! Dimana sopan santun saya? Perkenalkan, nama saya Visha. Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?”
“….”
Laki-laki
itu terdiam. Tidak, ia tidak diam karena sengaja atau sejenisnya
melainkan karena memang ia sudah lama tidak berbicara, bisu adalah hal
yang wajar. Namun ia memiliki akal. Diambilnya pena yang ada di dalam
buku coklat tebal yang dibawanya itu dan ia mulai menulis sesuatu. Tidak
lama, ditunjukkanya tulisan itu kepada Visha seakan hanya itu saja yang
bisa membuat mereka berkomunikasi.
[“…..Kau boleh memanggilku Rio.”]
Itu saja? Pikir Visha.
“Ummm…silahkan
duduk di kursi itu, saya akan membawakan Anda beberapa makanan,” ucap Visha sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di depan meja kantor itu. Rio tidak merasa ingin memakan sesuatu tetapi terlambat untuk
memberitahukannya karena Visha sudah hilang dari ruangan itu sebelum ia
sanggup menyelesaikan menulis kalimatnya.
Apa boleh buat, Rio akhirnya duduk di kursi yang disarankan oleh Visha, kursi roda,
terasa cukup aneh memang. Di depannya adalah meja kantor, dan di
depannya lagi adalah sebuah kursi terbalik yang Rio tahu bahwa ada
seseorang yang duduk disitu.
“Maaf membuat Anda menunggu, silahkan.” Visha lagi-lagi muncul dengan tiba-tiba, menyajikan cemilan dan secangkir
kopi di meja kantor yang semakin berantakan itu. Kali ini Rio
menyempatkan diri untuk menunjukkan kalimat yang tadi ia tuliskan.
[“…Keinginanku bukanlah makanan. Aku tidak memerlukannya.”]
Visha terlihat cukup kaget sebelum kemudian membalas, “Wow, pelanggan yang
tidak sabaran. Apakah bahkan dari awal Anda mempercayai Ecnahc Dnoces ini?”
[“…Aku mempercayai apa saja yang aku lihat dengan mataku ini. Aku akan sepakat jika memang keinginanku terkabul.”]
“Sepakat?
Bukankah kita belum membuatnya? Kalau begitu, apa yang Anda tawarkan?”
tanya Visha lega karena ternyata ada juga pelanggan yang tidak
bertele-tele dan mempertanyakan ini itu.
[“…”]
Rio memulainya dengan dialog kosong, sebelum kemudian membalik lembaran itu
menuju ke halaman selanjutnya, terus menerus, hingga pada halaman
terakhir.
Visha tersenyum. Ia tahu masalah apa yang sedang
dihadapi Rio hanya dengan melihat lembaran-lembaran itu. Tidak
berlama-lama, ia mendekati kursi hitam besar yang Rio yakin bahwa pasti
ada seorang laki-laki disitu. Dan benar saja, kursi hitam itu berbalik
dan menghadap ke arah Rio setelah Visha membisikkan sesuatu ke laki-laki
itu.
“Beliau adalah manajer Ecnahc Dnoces, Xeon.” Tanpa diminta, Visha memperkenalkan Xeon pada Rio.
“Apakah Anda yakin dengan permintaan Anda?” tanya Xeon tanpa mempedulikan perkenalan itu dan langsung pada inti dari pembicaraan.
[“…Aku
tidak pernah seyakin ini. Aku tidak peduli kalau kau menusukku dengan
tatapanmu itu asalkan kita sepakat dengan tawaran itu.”]
Bagi Rio, tidak ada kesedihan yang belum ia rasakan. Semuanya sudah seperti
makanan sehari-harinya, hingga pada tingkatan ia merasa mual dengan
kebasian kesedihan itu. Tatapan tajam hanyalah debu saja di mata Rio.
“Orang
bodoh dan pengecut sepertimu lah yang selalu memberikan tawaran yang
seperti ini. Tapi aku bahkan tidak peduli. Tawaranmu menarik hingga aku
tidak sedetikpun memikirkan siapa dirimu,” ucap Xeon sambil menatap lekat kedalam mata Rio.
[“…Bagus bila demikian, aku pun tidak peduli dengan pendapatmu. Bisa kita mulai sekarang?”]
“Hmmm... sikap yang menarik. Lebih baik secepatnya kita selesaikan transaksi ini, setelah itu enyalah dari sini. Visha!”
“Yap, saya sudah siapkan,” jawab Visha dengan santainya.
[“….Bagaimana
kita akan melakukannya?”] Setelah mengisi dan menandatangani formulir, Rio pun sebenarnya penasaran. Sikap Xeon nyata dan tidak dibuat-buat,
membuatnya lebih yakin tentang kekuatan tempat ini.
“Maafkan
sikap Bos, beliau memang seperti itu. Tapi saya rasa, Anda cukup
berani mengambil resiko dengan merubah hidup Anda. Keputusan Anda
sendiri itu saja sudah cukup membuat Anda tampak hebat. Ya, saya rasa
Anda memang benar-benar hebat,” kata Visha sembari mengambil sebuah bola
kaca sebesar kepalan tangan yang berwarna biru menyala, seperti memiliki
lampu di dalamnya.
Mendengar itu, mata Rio terbuka lebar.
Ini kali pertamanya seseorang memandangnya berbeda. Pada umumnya, semua
orang akan meresponnya sama persis seperti Xeon. Tapi…Visha berbeda.
Entah mengapa Rio merasa cukup senang meskipun sedikit.
[“…Aku tidak memerlukan simpatimu, tapi…terima kasih.”]
“Anggap saja sebagai salam perpisahan dari saya. Nah, ada pesan-pesan terakhir? Maaf bila terdengar aneh, hehe.”
[“…Tidak
ada. Kalaupun ada aku akan mengatakan, ‘Akan berbeda akhirnya jika aku
bertemu denganmu lebih cepat, Visha’. Oh ya, nama asliku adalah Andrio,
aku harap kau selalu mengingatnya.”]
Rio memandang beda Visha. Cukup jarang ia menemukan orang seperti Visha, terlebih dia adalah
wanita. Mungkin tidak bisa mencairkan hatinya, tapi setidaknya Rio
sejenak merasakan hangat. Meski itu hanyalah layanan ramah untuk seorang
pelanggan, tapi Rio merasa itu sudah cukup menyenangkan. Jadi,
memberikan nama aslinya adalah hal yang bisa dilakukannya untuk Visha
saat ini, dan mungkin memang hanya itu hingga akhirnya.
“Saya tersanjung. Hum! Saya pasti akan selalu mengingatnya, pasti. Dan untuk yang terakhir, Anda sudah siap?”
Akhirnya Rio tersenyum lepas. Tidak ada penyesalan lagi yang ia rasakan.
Keputusannya itu adalah hal yang ia rasa paling baik. Jadi,
menghembuskan nafas panjang, ia menulis.
[“…Tidak perlu kau tanyakan lagi.”]
“Selamat tinggal, Andrio.”
Dengan
salam perpisahan itu, Visha mengeluarkan cahaya terang dari kedua matanya, sangat terang hingga
membuat seakan ada matahari baru di ruangan itu. Rio pun seakan hampir buta
karena cahaya itu hingga pada akhirnya, ia mulai mengantuk dan akhirnya tidak sadarkan diri.
[“…….”]
Tidak
lama, Rio membuka matanya. Ia terkejut melihat apa yang ada di
sekelilingnya. Taman bunga yang cantik dan subur dengan air mancur yang
tidak begitu besar namun indah, menciptakan pelangi kecil di atasnya.
Beberapa meter dari air mancur, berdiri rumah bercat putih dengan hiasan
bunga dan kaca pada lantai dan dinding-dindingnya. Seperti baru, rumah
itu seperti sengaja disediakan untuk Rio seorang.
Aku pulang, pikir Rio.
Berlarian
di taman bunga, Rio mengejar kupu-kupu layaknya anak anjing.
Mengumpulkan beberapa bunga dan mencium wanginya. Tidak hanya itu, ia
juga membuat mahkota dengan bunga-bunga itu. Satu, dua, ia membuat
beberapa mahkota meskipun hanya ia saja yang ada di taman itu. Namun
karena suasana dan keceriaan yang ia rasakan, itu semua tidak masalah
untuknya.
Sinar di mata Rio hidup kembali.
Lelah
bermain di taman, Rio merasa haus. Ia mendekati air mancur dan baru
menyadari bahwa yang ada disana bukanlah air melainkan susu. Dengan
cepat Rio meminum air susu itu seakan nyawanya akan terselamatkan bila
bisa meminum satu tetes air susu itu saja. Seperti bayi, Rio tidak
berhenti minum sebelum ia kenyang.
Setelah lama sibuk
meminum air susu, Rio melirik ke arah bagian atas dinding rumah putih
miliknya itu. Ada sebuah jam besar yang tergantung disana. Pukul tujuh
lewat dua puluh lima menit, sial, aku terlambat sekolah! Pikir Rio.
Rio pun berlari ke jalan dan akhirnya mendapati dirinya sudah berada di
dalam kelas mengenakan seragam sekolah. Dilihatnya semua teman-temannya
sudah duduk di kursi masing-masing dan seorang guru yang sedang
menjelaskan bagaimana cara menggambar dengan prespektif tiga titik mata.
Rio dengan senang hati mendengarkan pelajaran itu karena menggambar, adalah
hobinya. Ketika sesi menggambar bebas dimulai, Rio tidak berpikir lama
dan segera mengeluarkan buku gambar coklat tebalnya yang sudah lama ia
miliki. Membuka lembaran baru, Rio mencoba menggambar pemandangan taman
bunga dan rumahnya tadi beserta air mancur susu. Namun Rio berhenti saat
ia merasakan ada seseorang yang memandangnya sejak tadi.
Rio menoleh, menemukan seorang cewek manis yang mirip seperti Visha. Cewek itu adalah teman sekelasnya yang kemudian malu-malu
mendekatinya dan berkata, “Kau hebat dalam menggambar. Bisa ajari aku?”
Rio tersenyum lebar dan mengangguk.
Menggambar
adalah hidup Rio. Ia bisa menciptakan dan menghapus sesuatu sesukanya.
Ketika ia menginginkan ini, ia tinggal menggambarnya saja. Ketika ia
tidak menginginkan itu, ia tinggal menghapusnya saja. Itu tidak sulit
karena Rio sudah terbiasa menggambar sejak kecil. Jadi, menggunakan
kemampuannya untuk mendekatkan diri pada salah satu teman cewek adalah
hal yang selalu ditunggu-tunggu Rio.
Tersenyum, tertawa,
suasana hangat tercipta di antara mereka. Jika ingin digambarkan, mereka
seperti sepasang burung merpati yang hinggap di lonceng pada sebuah
gereja. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka berdua, kecuali waktu.
Meski
sedih dan sepi, Rio terpaksa melepasnya untuk hari ini. Toh mereka
pasti akan bertemu lagi keesokan harinya, jadi tidak ada yang perlu
dikhawatirkan lagi. Ya, mereka bisa terus bersama-sama hingga sekolah
selesai dan akan terus bersama-sama bila mereka masih saling bertemu di
masa depan.
Ya, masa depan dimana mereka mengucapkan janji
sakral di upacara yang sudah ditunggu-tunggu Rio sejak lama. Dipeluknya
dengan erat istri pertamanya itu, seakan Rio ingin selalu melekat erat
dengan istrinya. Tidak ingin berpisah, Rio selalu melakukan yang terbaik
untuk keluarga barunya itu. Menciptakan semua hal yang akan terus bisa
membuat mereka selalu bersama-sama.
Hingga masa tua
datang, Rio dan istrinya masih tetap bersama. Mereka duduk di beranda
dengan tangan yang saling menggenggam. Menikmati suasana taman di sore
hari dengan warna oranye yang terus memerah di langit. Menikmati
sejuknya angin menjelang malam dan dihiasi oleh hangat genggaman tangan
sang istri.
Tidak ada yang bisa menggantikan saat-saat
itu. Tidak ada, sekalipun sesuatu memaksanya untuk membalikkan badan
dari istrinya, karena ia yakin, istrinya akan selalu berada di sisinya,
selamanya. Selama mungkin waktu yang bisa mereka lalui, selama mungkin
musim yang bisa mereka rasakan. Berganti, berulang-ulang, dan kembali
lagi seperti semula. Begitu terus sampai pada nafas terakhir Rio yang
hanya bisa ia hembuskan.
Akhir hidup Rio sudah dekat.
Rio tidak memiliki penyesalan sama sekali. Bahkan ia sangat bersyukur dapat
menjalani kehidupannya seindah ini. Memiliki istri yang selalu ada di
sampingnya bahkan saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kebahagiaan
yang luar biasa indah, tidak ada orang yang akan mengeluh lagi, tidak
terkecuali Rio. Karena memang sudah jelas, semua itu memang sulit untuk
didapatkan kecuali melalui mimpi. Akan sangat mudah kita mendapatkan
sesuatu melalui mimpi.
Dan itu….adalah mimpi Rio.
“Ah, dia terlihat begitu bahagia,” ucap Visha dengan suara yang lembut karena terbawa suasana melihat senyum Rio yang lebar.
“….”
“Tapi
sayang sekali itu tidak berlangsung lama.” Sekejap ekspresi Visha
berubah. Alisnya mengerut dan bedaknya luntur karena air matanya yang
mulai mengalir.
“Kau salah. Tidak untuk kita, namun
untuknya, dia memiliki waktu yang sama seperti yang ada di dunia ini.
Dua detik di dunia ini adalah satu tahun di dunianya. Jadi, simpatimu
hanya sia-sia belaka.”
kata Xeon dengan wajah datar dan nada yang terdengar datar pula.
Melihat bosnya seperti itu, Visha hanya diam saja dan mulai membereskan meja kantor Xeon.
“Waktunya sudah selesai, jiwanya sudah pergi ketempat yang tidak mungkin bisa di capai, bahkan olehku. Lebih
baik kau bereskan tubuh itu dan bawa ke ruang yng ada disana. Aku sudah
mempersiapkan segalanya disana,” perintah Xeon dengan nada datar.
“Hmmm... Oke Bos,”
jawab Visha menurut. Visha kemudian mendorong kursi roda yang Rio duduki
ke arah pintu yang ditunjuk Xeon.
Visha hanya bisa mengerutkan alis, merasa kasihan pada Rio. Rio masih
bernafas dan tersenyum lebar, seakan itulah ekspresi yang dimilikinya
dari awal. Ia terlampau bahagia dalam mimpinya. Tidak ada penyesalan
yang tergambar di raut wajahnya itu, membuat Visha merasa sedikit lega.
Secara
fisik Rio masih hidup, bahkan hingga ia dimasukkan ke dalam ruang itui.
Namun jiwanya tidak ada disana, bahkan di dunia ini. Jiwanya tinggal di
dalam mimpinya yang sudah ia lukis sejak lama di buku coklat tebalnya
itu. Seperti sebuah cerita yang hanya bergambar saja, Visha bisa
mengetahui cerita dari lukisan itu hanya dengan melihatnya saja.
Dari
awal saat Rio berada di taman bunga hingga Rio menghembuskan nafas
terakhirnya dengan senyuman lebar, Visha mengetahui alur cerita gambar
itu. Sebelumnya, ia tidak mengerti apa yang diinginkan Rio dari Ecnahc Dnoces ini melihat hanya gambar-gambar saja yang ditunjukkan
oleh Rio. Hingga pada akhirnya di halaman terakhir, Rio menuliskan
keinginannya.
[“….Ambil ragaku sesukamu dan sebagai
gantinya, bawa jiwaku ke dalam mimpi-mimpiku ini selamanya. Karena disitulah duniaku yang sebenarnya, dunia dimana aku bahagia.”]
ARC BERAKHIR