Cerita Bersambung

Baca Cerita Bersambung terbaru yang seru dan menarik disini! - ethereal-horizon.blogspot.com.

Cerita Pendek

Baca Cerita Pendek terbaru yang seru dan asyik disini! - ethereal-horizon.blogspot.com.

Science Fiction

Baca kisah bergenre Fiksi Ilmiah disini! - ethereal-horizon.blogspot.com.com.

Supranatural

Jelajahi hal-hal yang berbau mistis! - ethereal-horizon.blogspot.com.com.

Light Novels

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, March 31, 2017

Melihat Kematian



Dunia ini masih menyimpan banyak misteri didalamnya. Kehidupan, Kematian, dan Kekuatan adalah misteri-misteri yang ada diantara banyak misteri. Ngomong-ngomong soal kekuatan, ada berbagai macam jenisnya. Kau bisa mendapatkan salah satunya jika kau mau. Tapi ya, seperti yang aku katakan tadi, kau harus mencari misteri yang tersembunyi dari kekuatan itu. Tiga dari sepuluh orang manusia telah berhasil mengungkap misteri dari beberapa kekuatan yang ada di dunia ini.

Mereka yang memiliki kemampuan khusus tertentu itu terkadang menyembunyikan kemampuan yang mereka miliki dari orang lain, namun beberapa lainnya memanfaatkan kemampuan mereka untuk mendapatkan sebuah eksistensi.

Aku adalah salah satu dari golongan orang-orang yang memiliki kemampuan khusus itu. Berbeda dengan mereka, kemampuan yang kumiliki timbul karena kejadian yang kuharap tidak pernah terjadi dalam hidupku.

Sekitar dua bulan yang lalu, aku dan beberapa orang teman mengunjungi sebuah kuil yang sudah tak terjamah di tengah hutan, saat itu kami sedang beristirahat di sana setelah melakukan pendakian di Gunung. Salah seorang temanku yang mempunyai rasa keingintahuan tinggi, mengajak aku dan lainnya untuk memeriksa bagian dalam kuil. Awalnya kami menolak namun akhirnya kami menurutinya setelah ia memaksa untuk mengajak kami masuk ke dalam.

Keadaan di dalam kuil tidak begitu mengerikan, hanya sedikit kumuh dan berbau tidak sedap. Kami menelusuri satu demi satu ruangan di dalam kuil tersebut hingga kami sampai pada ruangan tengah. Ruangan itu cukup besar dan dekelilingi oleh beberapa patung berwujud manusia. Di antara patung-patung tersebut terdapat sebuah patung yang sangat besar, di tangannya terdapat sejenis lempengan besi berwarna keemasan. Aku dan teman-temanku berjalan mendekati patung tersebut dan kami menemukan sebuah buku tergeletak di atas lempengan emas itu.

Buku itu tidak tebal namun juga tidak begitu tipis, tulisan di dalamnya pun menggunakan aksara kuno. Aku tidak mengerti apa yang dituliskan dalam buku itu tapi salah seorang temanku bernama Toni mengerti dan menerjemahkannya kepada kami. Awalnya kami tertawa mendengar penjelasannya

“Hal semustahil itu tidak mungkin ada di dunia nyata” jawab temanku yang lainnya.

Toni terlihat kesal lalu ia membaca sebuah kalimat yang katanya merupakan sebuah mantra yang bisa membuat kita mampu melihat kematian seseorang sebelum itu terjadi.

“Baiklah siapa yang berani mengulanginya sebanyak tiga kali kalimat yang sudah kuucapkan, akan kuberikan semua uang yang ada didompetku” ucap Toni menantang kami.

Bisa dibilang Toni adalah temanku yang paling pelit, mendengarnya bertaruh seperti itu membuat teman-temanku yang lain mempercayai ucapannya tapi tidak denganku. Aku mengulurkan tangan kananku dan menjabat tangan Toni, “Oke Deal! Kalian semua saksinya ya?” ucapku sumringah.

Tiga hari telah berlalu sejak kajian di kuil itu, aku mulai merasakan hal-hal aneh, mendengar suara-suara yang selalu hilang ketika kucari dan hari itu pun datang. Sore itu aku bertemu dengan teman-temanku. Toni bertanya padaku apakah sesuatu hal telah terjadi dan saat aku hendak menjawabnya, tiba-tiba pandanganku terfokus pada kedua bola matanya, semua menjadi gelap dan hening, semakin dalam padanganku membawaku, aku dapat melihat secercah cahaya dan sebuah gambar yang dengan perlahan menjadi semakin jelas, itu adalah Toni, ia mengendarai motornya dengan sangat kencang dan sebuah truk terparkir tak jauh di hadapanya, Toni tak bisa mengurangi kecepatan motornya dan menghantam truk tersebut hingga badannya terpental dan mendarat pada aspal dengan kepalanya yang pecah bersimbah darah.

“Hei Den, kau baik-baik saja?”

Pandanganku kembali, Toni masih duduk di hadapanku dengan temanku yang lainnya.

“Aku baik, hei Ton berhati-hatilah sepulang nanti, jangan mengendarai motormu terlalu kencang” ucapku

Toni dan teman-temanku terlihat kebingungan dengan ucapanku, dan sepertinya Toni menyadari suatu hal di balik ucapanku. Wajah Toni terlihat memucat dan perlahan ia berkata “A...apa kau melihat kematianku?”. Aku mengangguk, mereka semua menjadi terdiam dan saling menatap.

Kami semua memutuskan untuk pulang bersama mendampingi Toni. Kami berkendara dengan sangat hati-hati dan perlahan, beberapa kendaran terdengar kesal dan membunyikan sirine mereka untuk menegur kami, namun kami lebih takut kematian Toni ketimbang wajah marah dan cacian kotor mereka.

Saat kami sampai di sebuah perempatan jalan, aku melihat truk itu, truk yang menjadi bagian dari kematian Toni. Aku berteriak dan memperingati Toni, Toni pun seketika menghentikan laju motornya namun sebuah Van hitam melaju dari arah belakang dan menghantan motor Toni, motor yang dikendarai Toni terdorong keras hingga menabrak bagian depan truk yang terparkir di hadapannya dan tubuh Toni terpental seperti dalam penglihatanku sebelumnya.

Para pejalan kaki dan pengendara yang berada di lokasi pun histeris dan berhamburan mendekati tubuh Toni yang sudah tak sadarkan diri. Aku dan semua temanku berlari meninggalkan kendaraan kami untuk memeriksa keadaan Toni, Toni telah tewas dan semua temanku menatapku dengan tatapan yang sangat dingin. Aku tak sanggup menyaksikan jasad Toni, “Apa yang terjadi? Aku tak melihat Van hitam itu dalam penglihatanku sebelumnya.” Pikirku, tubuhku perlahan menjauh akibat rasa bersalahku pada Toni dan sebuah hantaman keras kurasakan menyentuh tubuhku.

Saat kembali dari rumah sakit akibat kecelakaan yang kualami, aku berusaha memperbaiki hubunganku dengan semua temanku, aku menghampiri tempat yang biasa kami datangi untuk menghabiskan malam, namun sepertinya mereka sangat membenciku dan bahkan mengabaikanku. Aku selalu berusaha menyapa dan ikut berkumpul dengan mereka namun semua tetap sama, mereka tetap mengabaikanku seolah kematian Toni sepenuhnya merupakan perbuatanku.

Mereka harusnya tahu bahwa aku pun merasa kehilangan dan aku merasa sangat bersalah. Harusnya mereka mengerti dan tidak menjauhiku seperti ini, bahkan kematian Toni membuatku takut untuk melihat pantulan diriku, aku takut jika tanpa sengaja aku melihatnya maka gambaran akan kematianku akan muncul dan menghantuiku namun bahkan apa yang mereka lakukan kepadaku saat ini membuatku merasa bahwa aku telah menemukan kematianku itu.

Aku mulai mengurung diri di kamar sepanjang waktu, tidak bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, mereka pula tidak menghiraukan keberadaanku, tidak bertanya apa yang terjadi kepadaku. Sejak kejadian itu, duniaku benar-benar berubah. Aku mulai membenci kehidupanku yang menyedihkan ini, aku keilangan teman dan keluargaku karena kemampuan menakutkan yang kumiliki. Kemampuan ini membuatku merasa kesepian dan kehilangan.

Aku memutuskan untuk mengakhirinya hari ini, aku akan menjemput kematianku. Dengan tekad yang sudah bulat, aku berjalan menuju kamar mandi, memantapkan niatku untuk menatap pantulan wajahku agar aku dapat mengetahui bagaimana aku akan mati nanti. Kuhirup nafas dalam-dalam dan mengangkat kepalaku, perlahan kubuka kedua mataku yang masih ragu dengan keinginanku, namun berkali-kali aku membuka mataku, aku tetap tak dapat melihatnya, aku tak dapat melihat kematianku itu dan juga tak melihat pantulan diriku pada cermin di hadapanku itu.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Toni saat mengutip sebuah kalimat dari buku kuno itu.
"Ini adalah cara untuk meminjam mata Sang Kematian. Dia akan memberikannya kepadamu, namun sebagai gantinya dia akan membawa JIWAMU."


END?

Wednesday, March 29, 2017

Ecnahc Dnoces: Kesempatan Kedua



(Workshop Street, Michigan – 12 Maret 2011)

Seorang pria muda berkacamata, dalam balutan jaket kulit warna coklat tiba di gerbang Workshop Street. Ia tampak menggenggam tangan sesorang anak lelaki berusia 10 tahun. Pandangan anak itu tidak fokus, lidahnya tebal dan menjulur keluar, menyiratkan ada yang tidak beres pada anak tersebut. Anak itu menyeret-nyeret tangannya, “Ayo Pa, ke sana…. Ayo… ayooo!!!!”

Pria muda itu menuruti keinginan anaknya dengan rasa malas. Sebenarnya bukannya ia tidak sayang pada anaknya, bukan pula ia tidak suka jalan-jalan. Tetapi yang ada di kepalanya adalah bagaimana ia melunasi setumpuk hutang yang menumpuk untuk biaya pengobatan semenjak kelahiran anaknya yang ternyata …. autis ini.

Selama 10 tahun masa perkawinannya secara umum sebenarnya membahagiakan. Tetapi kehadiran anaknya yang tunggal namun autis membuatnya harus selalu mengeluarkan biaya ekstra untuk pendidikan khusus bagi anaknya. Ditambah akhir-akhir ini istrinya sakit-sakitan dan karirnya yang terhenti hanya sebagai guru tidak tetap di sebuah SMA membuatnya tidak punya pilihan lain selain berhutang. Tumpukan hutang yang semakin menggunung ditambah teror dari para debt collector merasa menjadi orang paling malang di dunia.

Dipandanginya arloji emas, hadiah dari ibunya saat pernikahan dahulu. Arloji itulah satu-satunya benda berharga yang masih menempel di dirinya selain 2 lembar 50 dolar yang tersimpan dalam dompetnya yang telah tipis karena digerus arus pengeluaran yang tidak terkontrol.

Pria muda itu melihat sebuah tulisan di antara ramainya hiruk pikuk saat itu : “ECNAHC DNOCES”.

“Ah,  aku menemukannya ….” Katanya yang langsung disambung dengan kebisuan sementara anaknya menarik-narik bajunya sekali lagi.

Pria muda itu berpaling ke anaknya lalu menuntun anaknya ke sebuah toko jajanan yang menjual aneka snack dan di sana ia berkata kepada anaknya, “Apa pun yang terjadi tetaplah disini. Ayah ada urusan sebentar.”

“Hummp... Ya deh” jawab anak itu sambil melongo.

Pria muda itu segera berlari ke arah Ecnahc Dnoces berada dan dengan terburu-buru ia membuka pintu kaca itu.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pria berjas hitam dengan ekspresi dingin dan menakutkan dari balik meja resepsionis.

“Errr, iya. Apa benar ini Ecnahc Dnoces? Saya hendak menukarkan sesuatu sesuatu,” jawab pria muda tersebut.

“Apa yang hendak kau tukarkan, Tuan?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba saja keluar dari belakang.

Wanita itu tampak sangat cantik di mata pria itu. Wanita itu berwajah Eropa degan rambut hitam khas Asia. Pakaiannya yang merupakan kombinasi seragam sekolah ala jepang dan kostum Grup Idol. Membuatnya tampak mirip personel AK*48

“Err, ya. Saya hendak menukarkan ini,” kata pria muda itu sembari melepaskan arloji emasnya.

“Anda yakin Pak? Oh ya saya bicara dengan Bapak siapa?” tanya pria yang menjadi resepsionis itu masih dengan ekspresi dingin.

“Jack Roberts.”

“Kau bisa menukarkan lebih dari itu Tuan. Dan semakin tinggi nilai yang kau tukarkan semakin besar yang akan kau dapat,” kata wanita itu sambil mengerlingkan mata ke arah pria muda itu.

“Tapi ini adalah benda berharga terakhir yang aku punya,” jawab Jack.

“Ah…ah..ah! Tidak juga, Nak! Kau masih punya harta berharga satu lagi,” celetuk sang resepsionis.

“Apa itu?”

“Istrimu dan anakmu!”

“Istriku? Kau mau jadikan dia pelacur begitu?” seru pria muda itu marah.

“Oh tidak begitu Tuan. Maafkan kata-kata Xeon yang sangat kasar. Tapi tidak ada maksud dari dirinya untuk mencelakai istri dan anakmu. Mari Tuan, duduklah dan minum teh dahulu,” kata wanita muda itu sambil mempersilakan Jack duduk.

Jack duduk dengan muka sebal, sementara Xeon keluar dari balik meja resepsionis ke arah meja tamu.

“Kami akan tukarkan kehidupanmu bersama anak istrimu yang sekarang dengan kehidupan yang lebih baik bila kau tukarkan hidupmu sekarang, Tuan!” kata Xeon.

Sementara itu wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Jack dan membuat jantung pria muda itu berdebar tidak karuan. Wanita ini sungguh-sungguh membuatnya hampir lepas kendali kalau saja ia tidak ingat janji perkawinan sehidup-semati yang ia buat dengan istrinya dahulu.

“Anda akan mengambil nyawa saya bukan?” tanya Jack.

“Tidak, saya tidak akan mengambil nyawa anda. Nyawa anda juga tidak akan berkurang. Hanya ‘masa kini’ milik anda saja yang anda tukarkan,” jawab Xeon masih juga dengan muka tanpa ekspresi.

“Bagaimana?” tanya resepsionis itu lagi.

“Apa yang akan saya dapatkan jika saya menukarkan ‘masa kini’ saya?”

“Apapun yang anda minta.”

“Termasuk kesempatan kedua?”

“Aw? Apa kesempatan kedua yang dibutuhkan oleh orang seperti anda?” goda si wanita.

Jantung pria itu semakin berdebar tidak karuan, bukan hanya karena tegang akibat konsekuensi yang mungkin akan ia tanggung, tetapi juga karena belahan bukit kembar yang padat dan kenyal serta menonjol dari balik pakaian wanita itu merangsang nafsu kelelakiannya ( Hari ini author agak mesum, yak :v Gak gak, ini karena alurnya memang harus begini).

“Ya, kesempatan kedua juga berlaku. Ceritakan masalah anda!”

“Ah, ya. Saya ini seorang guru SMA. Guru Fisika tepatnya.”

“Oke? Lalu.”

“Tetapi pada masa SMA, saya adalah olimpiadewan fisika yang lumayan handal. Hanya saja… hanya saja… pada babak final olimpiade fisika nasional saat itu…. saya gagal masuk menjadi 3 besar. Saya digagalkan oleh sebuah pertanyaan, perjuangan saya hancur lebur. Semua orang memuja dia, teman baik saya. Segala penghargaan ia dapatkan sementara saya dilupakan. Sementara saya tidak dapat mengikuti olimpiade berikutnya karena saya sudah menginjak kelas 3. Saya terlupakan!!!! Pada masa kuliah pun saya dikalahkan oleh teman-teman yang jauh lebih superior daripada saya!!! Ini tidak adil!!! Saya belajar siang-malam untuk sekedar sejajar dengan yang terendah dari mereka tapi tidak pernah bisa. Saya selalu gagal dalam setiap kompetisi, sementara mereka terus menerus berhasil!!! Kenapa???!!!” cerita pria muda itu berapi-api.

“Dan sekarang, pengabdian saya sebagai guru tidak jua dihargai. Saya tetap saja menjadi Guru Honorer, tidak diberi kesempatan sekali pun menjadi seorang guru tetap. Sementara badai cobaan hidup selalu mendera saya siang dan malam dalam hidup saya yang semakin menyedihkan dari hari ke hari, orang-orang lain dengan kemampuan dan pengabdian yang lebih rendah daripada saya mendapatkan aneka kedudukan dan kemudahan dalam mencari uang. Saya??? Dilupakan sekali lagi!!!!!” lanjutnya masih dengan ekspresi marah berapi-api.

“Oke, saya paham,” kata Xeon, “Manami…!”

“Namaku Visha!!!” jawab wanita itu marah.

“Bodoh, bukannya kau sendiri yang terus merengek untuk dipanggil 'Manami'. Cepat, persiapkan kontrak dan pintunya.”

“Oke bos!!” jawab wanita itu.

(New York – 1 Januari 1980)

Seorang balita berusia 3 tahun tampak bermain dengan spidol di sebuah ruang tamu sebuah rumah sederhana yang terletak di sebuah perumahan.

“Jack, sedang apa kamu?” tanya seorang ibu muda yang membawa sekeranjang pakaian kering ke meja seterika.

“Nyoret!” jawab anak itu cuek.

“Hah, apa sih?” tanya ibunya lagi sembari menghampiri anaknya itu.

Si anak menunjukkan hasil coretannya ke hadapan ibunya dan jantung ibu muda itu hampir saja berhenti karena sangat kagetnya. Pada lantai yang telah penuh oleh tulisan itu terdapat kalimat-kalimat berikut :

1. W= 2000 N

F = 400 N

Panjang lengan beban (lb) = 3 m

Panjang lengan kuasa (lk­) = M

Maka M= ….

Jawab : W x lb = F x M

2000 N x 3 m = 400 N x M

6000= 400M

M = 60/4

M = 15 meter



2. Posisi awal batu= 30 meter di atas tanah

Posisi saat ini = 20 meter di atas tanah

Massa batu = 400 gram

Kecepatan batu saat ini =…..

Jawab : EP(1) = m.g.h

= 0.4 x 10 x 30

= 4 x 30

= 120 Joule

EP(2) = m.g.h

= 0.4 x 10 x 20

= 4 x 20

= 80 Joule

EK = EP(1)-EP(2)

½ .m.v2 = EP(1)-EP(2)

½ x 0.4 x v2 = 120-80

0.2v2 = 40

v2= 800

v = 20 m/s



"..................."



“Ini… ini….!! Dari mana kamu belajar hal ini, Nak?”

“Dari buku itu,” jawab anak itu cuek sembari menunjuk sebuah buku yang tergeletak tak jauh di hadapannya.

“Ini buku fisika kelas 2 SMP. Dari mana kamu bisa paham akan hal ini?”

Anak itu hanya diam saja tidak menjawab.



(Youth Arena, Oslo Norwegia – 3 Januari 1990)

“Semoga berhasil, Jack!” kata seorang pria paruh baya berkacamata pada seorang anak lelaki berusia 13 tahun.

“Ingat, kamu harus percaya bahwa kamu bisa!” kata seorang ibu paruh baya pada anak lelaki itu lagi.

“Iya Bu, Yah. Aku pasti akan memenangkan kompetisi ini.”

“Tunjukkan bahwa kita bisa menjadi yang terbaik!” kata pria paruh baya tadi sembari menepuk bahu anak lelaki itu.

“Pasti!” jawab anak itu.



(MIT University, Massachusetts – 4 Februari 1990)

“Pemirsa! Pada hari ini Presiden Amerika, George W Bush akan memberikan penghargaan pada anak ajaib dari New York. Jack Roberts. Pemirsa, apabila anak-anak seusianya biasanya masih duduk di kelas 1 SMP. Jack ini sudah mengenyam pendidikan sebagai siswa kelas 2 SMA. Kejeniusan anak ini pulalah yang akhirnya menghantarkan dirinya menjadi juara 1 Olimpiade Fisika Tingkat Dunia di Oslo, Norwegia pada tanggal 3 Januari yang lalu. Dan seperti bisa anda lihat pemirsa …. Presiden sudah memasuki panggung dan acara akan segera dimulai.”

Setelah pidato dan sambutan yang tidak jelas ujung pangkalnya dari para pembesar akhirnya tampak seorang anak maju ke atas panggung, menerima aneka penghargaan dan piala. Dan tak lupa ucapan selamat dari Presiden Bush.

“Nah, dengan ini tidak akan ada lagi yang akan mengejekku. Tidak akan ada lagi yang namanya kemiskinan. Dan tidak akan ada lagi yang namanya kesusahan. Aku akan menjadi nomor satu!” gumam anak itu dalam hati. Anak itu tak lain dan tak bukan adalah Jack.

Dari antara pengunjung acara itu tampaklah dua orang berpakaian jubah hitam panjang dengan tudung kepala menutupi muka mereka. Mereka adalah seorang pria dan seorang wanita.

“Michael, tidakkah kau merasa bahwa pria itu sudah berlaku curang?” tanya seseorang kepada seseorang.

“Maksudmu, Gabriel?” tanya pria itu.

“Ia minta kembali menjadi seorang anak dengan kemampuan yang setara orang dewasa. Dengan begitu ia bisa menjadi nomor satu di bidangnya. Tidakkah itu tidak adil bagi anak-anak yang lain?”

“Itu bukan urusan kita Gabriel. Itu urusan Xeon dan Ecnahc Dnoces-nya.”

“Mereka merusak hukum alam Michael! Merusak takdir pria itu.”

“Semua terjadi karena ijin-NYA, Gabriel. Apa kau lupa? Tugas kita disini hanya mengawasi saja.”

“Kau ini ….”

“Ah, Sebaiknya kita kembali.”

“Dengarkan aku dulu… hei Michael!!!!”

“Xeon dan Visha akan mengurus orang itu. Hal duniawi bukanlah urusan kita.”

Kedua sosok itu pergi meninggalkan acara itu tanpa ada satupun orang yang menyadarinya.



(International Physics Conference, Manila– 12 Juli 2000)

Ini adalah suatu konferensi di mana seluruh ahli fisika berkumpul untuk saling berdiskusi dan bertukar ilmu dalam bidang fisika. Tema yang dibahas dalam acara ini adalah laser.

“Saya sangat menunggu-nunggu simposium tentang laser sejak 2 tahun yang lalu, Prof Albert, bagaimana menurut pendapat anda mengenai penggunaan laser dalam kedokteran untuk memotong tumor?” tanya seorang pria Turki bersorban dalam balutan jas abu-abu kepada seorang pria botak berkulit pucat.

“Saya rasa hal itu sudah umum dibahas di simposium fisika 3 bulan lalu di Swiss, Tuan Mustafa. Saya lebih tertarik pada karya Doktor Asia itu,” jawab Albert.

“Doktor Roberts? Oh ya dia sangat hebat, penelitiannya soal sinar gamma untuk memperceat pertumbuhan pohon-pohon berkayu keras benar-benar revolusioner!! Berapa usianya?”

“Saya dengar ia baru berusia 23 tahun.”

“Waow, luar biasa!!!”

****

Sekarang … mari kita sambut presentator kita dari Amerika, Doktor Jack Roberts.”

Seluruh hadirin bertepuk tangan menyambut majunya Jack yang naik ke podium dan mulai membacakan makalahnya.

“Saudara-saudari….,” katanya membuka presentasinya.

“Hidup kita dan seluruh makhluk hidup di bumi ini bergantung kepada oksigen dan air. Dua elemen ini adalah elemen tervital dalam kehidupan kita. Selama ini hutan dengan aneka pepohonannya mencukupi kebutuhan kita akan dua hal itu saudara-saudari. Namun penebangan liar merusak semuanya dan kita tidak pernah cukup cepat dalam merestorasi alam kembali. Pepohonan tumbuh dalam waktu yang lebih lama daripada umur kebanyakan manusia, perlu belasan bahkan puluhan tahun untuk menghijaukan kembali hutan yang telah gundul, sementara itu kita harus terus menggunduli hutan karena kebutuhan kita akan laham, kertas, damar, mebel, dan hasil hutan lainnya. Itu semua tidak terelakkan. Tapi kini … saya menawarkan suatu solusi baru : radiasi sinar gamma dengan intensitas tertentu dapat mempercepat pertumbuhan tumbuhan berkayu keras. Penemuan ini saya kembangkan bersama dengan Doktor Profesor B.J Habibie, Ilmuan dari Indonesia yang sayang sekali tidak dapat hadir di sini. Tapi yang pasti dengan penemuan ini kita dapat mempercepat pertumbuhan pohon menjadi 10 sampai 15 tahun lebih cepat. Sebatang tanaman muda katakanlah berusia sebulan yang disinari terus menerus selama seminggu akan tumbuh menjadi layaknya tanaman berusia 8 bulan.”

“Penemuan ini belumlah sempurna saudara-saudari, karena itu saya mengundang rekan-rekan ilmuwan ataupun para investor yang berminat bergabung dengan kami untuk mengembangkan teknologi ini, kami akan menerimanya dengan senang hati. Adapun konsep dasar dari penyinaran ini adalah … bla..bla…bla…!” Jack terus melanjutkan ceramahnya dengan menjabarkan perumusan ilmiah untuk penemuannya.

Sesudah ia selesai dengan ceramahnya, suatu tepuk tangan meriah mengiringi turunnya Jack dari podium kembali ke tempat duduknya. Seluruh hadirin kagum akan kegemilangannya dalam meneliti dan berbicara di hadapan banyak orang. Ia telah bertransformasi menjadi seseorang yang dipuja dan dicari. Jauh berbeda dari kehidupannya yang sebenarnya.

(Workshop Street, Michigan – 12 Maret 2011)

Doktor Jack berdiri di depan tempat itu, tempat yang sama seperti yang ia temukan di kehidupannya pada hari yang sama namun dengan dimensi yang berbeda. Ia langkahkan kakinya memasuki tempat itu dan di sana kembali ia temukan seorang pria berjas hitam dan seorang gadis muda berbalut seragam SMA jepang.

“Ah, saudara Roberts. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Xeon.

“Begini Mas... Hidupku memang jauh lebih baik sekarang tapi yang aku tanyakan ke mana perginya anak istriku? Kenapa aku tak pernah bertemu mereka lagi?”

“Kau sudah menukarkan masamu bukan?”

“Aku memang sudah menukarkan masaku. Tetapi bukankah hanya masa yang tukarkan, bukan istri dan anakku!”

“Sabar, Tuan!” kata Visha.

“Bagaimana aku bisa sabar. Sekarang juga katakan di mana istri dan anakku!” bentak Jack.

“Jaga bicara anda Tuan!” kata Visha dengan Psy Ball di kedua tangannya dan matanya yang mengeluarkan sinar putih.

“Woah?” seru Jack terkejut.

Pria berjas yang tak lain adalah Xeon itu datang menghampiri si gadis lalu memegang pundaknya, “Visha, jangan menggunakan kekuatan mu sembarangan!”

Gadis itu menurut namun tampak sekali ia melakukannya dengan terpaksa karena ia langsung merengut sebal. Pria itu mendekati Jack lalu mengulurkan tangannya, “Mari! Akan saya tunjukkan di mana anak dan istri anda saat ini.”

Jack menyambut tangan pria itu dan dalam sekejap mereka sudah menghilang dari tempat itu.

“Itu istrimu!” kata Xeon.

“Eh?” Jack terkejut melihat istrinya hidup bersama pria lain,

“Tapi… kenapa?” tanya Jack lagi

“Kau sudah korbankan masamu bukan? Masa di mana kau hidup dengan anak dan istrimu. Maka dari itu istrimu dan kamu tidak akan pernah bertemu lagi. Kecuali jika kamu melakukan transaksi lagi,” jawab Xeon.

Kabut putih menutupi Xeon dan Jack dan mereka kembali ke Ecnahc Dnoces.

“Bagaimana Tuan? Anda mau bertransaksi lagi?” tanya Visha manja.

“Dan apa harga untuk sebuah masa yang harus kubeli kembali?” tanya Jack.

“Err, biar aku lihat dulu. Ooo untuk setiap jam dari masa yang hilang kau harus membayarnya dengan masa hidupmu selama setahun. Dan kalau boleh jujur Tuan, kau tidak punya masa hidup sepanjang itu. Tapi itu terserah padamu. Hahaha.”

“Kalian… kalian.. bajingan.”

“Bukankah kau dapatkan apa yang kau inginkan, kau menikmatinya, dan selama masa tenggang pembatalan transaksi kau tidak juga membatalkan transaksi. Jadi kalau kau sekarang mengalami hal ini, itu tidak lebih dari kesalahanmu sendiri. Hahaha.”

“Tuan, kalau anda hendak bertransaksi lagi, silakan bertransaksi lagi. Tetapi jika anda hanya hendak menggerutu akan nasib yang anda buat sendiri… silakan keluar dari sini sekarang juga!” kata Xeon dingin.

“Aduh Xeon, kau ini kasar sekali sama pelanggan. Ramahlah sedikit! Tapi… Hahaha aku lupa kalau kamu sudah tidak punya emosi,” kata Visha.

“Jadi kalian mau membantu saya atau tidak?” tanya Jack.

“Tidak…” jawab Xeon.

Wajah Jack merah padam dan dengan penuh kemarahan ia membuka pintu kaca itu lalu membanting pintu itu dengan keras sehingga menarik perhatian penjual dan pengunjung di sekitar tempat itu. Tetapi dalam sekejap timbul dalam benaknya untuk menukar masanya kini dengan masa aslinya terdahulu. Ia tidak peduli lagi dengan ketenaran ini, ia rindu akan istrinya yang lemah lembut dan pandai memasak, ia rindu akan putranya yang meski idiot sangat menyayanginya. Ia bersedia menukarkan apapun bahkan usianya untuk mendapatkan kembali masa itu. Namun ketika ia berbalik menatap tempat itu untuk kembali ke dalamnya…. TEMPAT ITU TELAH MENGHILANG.

“Tidaaaakkkkk!!!!!” jerit pria muda itu histeris di tengah-tengah area Workshop Street.


ARC BERAKHIR

Monday, March 27, 2017

Sebuah Film Berjudul 'Tsumi'


Siang ini cuacanya terlihat agak mendung. Matahari tidak bersinar cerah seperti kemarin hari. Menurutku ada yang aneh dengan cuaca akhir-akhir ini. Sebentar-sebentar hujan deras, tapi besoknya matahari bersinar terang. Orang bilang, itu karena pemanasan global, ada juga yang tidak percaya pada pemanasan global. Kalau aku, percaya-percaya saja, tapi aku tidak terlalu banyak memikirkannya. Sebagai mahasiswa super-sibuk, yang aku pikirkan hanyalah masalah pelajaran. Sebagai mahasiswa super-sibuk, yang aku tunggu hanyalah akhir pekan!

Dan sekarang adalah akhir pekan. Bukan akhir pekan biasa, ini adalah awal dari hari libur yang berturut-turut. Besok hari Sabtu, kuliah libur. Hari Minggu sudah pasti libur. Hari Senin, Pak Dosen sudah bilang kalau dia tidak bisa datang, itu artinya libur tiga hari. Dan aku sudah mengerjakan semua tugas laporan, makalah, praktikum, dan segala antek-anteknya. Three days of freedom, yay!

Sepulang kuliah sore ini, aku berhenti di sebuah rental DVD yang tidak begitu terkenal di dekat tempat kost-ku: Watcher's DVD. Aku rasa pasti adalah ide yang bagus untuk menghabiskan hari libur dengan menonton film. Walau tempat rental ini terlihat besar, tapi harga sewanya sangat murah, dan tidak perlu mendaftar menjadi anggota segala. Sudah cukup sering aku menyewa film di tempat ini, dan aku menyadari kalau kebanyakan film yang disewakan di sini adalah copy bajakan. Tidak masalah buatku.

Tok! Tok!

Aku mengetuk pintunya sambil masuk ke dalam, rupanya sedang sepi, cuma Mbak Atiek yang menjaga counter.

“Mas Ray! Selamat sore!” ucapnya sambil tersenyum melihat kedatanganku.

Mbak Atiek adalah pemilik rental The Watcher. Sebenarnya Mbak Atiek menjalankan usaha ini berdua dengan Mas Rojib, kakaknya. Walau aku selalu memanggilnya dengan sebutan “Mbak”, sebenarnya ia seumuran denganku, hanya saja entah kenapa aku selalu merasa kalau ia lebih tua. Sedangkan Mas Rojib beberapa tahun lebih tua dariku, sepertinya sebentar lagi akan lulus kuliah. Mungkin ia sedang sibuk, makanya akhir-akhir ini jarang kelihatan.

“Mbak, ada film yang baru nggak?” tanyaku sambil melihat-lihat rak-rak DVD dan VCD.

“Ada, film horror mau?”

“Selain horror?”

“Hmm ... Pasal-Pasal Cinta?”

“Yah, itu mah udah basi! Film Indonesia yg lain ada yang baru?” Ia tampak memeriksa katalog yang ada di tangannya.

“Ada, beberapa. Yang ini nih, judulnya OD.”

“OD?” aku duduk di dekatnya sambil memperhatikan sampul film itu.

“Over Dosis.”

“Ceritanya tentang apa ya?”

"Yah ..., tentang pergaulan bebas, seks gitu Mas,” Mbak Atiek terlihat malu-malu, aku jadi geli sendiri.

“Ah, kayanya film murahan, paling cuma ikut-ikutan Antartican Pie gitu,” aku letakkan lagi sampul film itu,

“Yang lain ada nggak?”

“Ada nih, film religi, yang buatnya sutradara terkenal. Baru diputer di bioskop kok, judulnya Waria Berkalung Keset. Gimana?”

“Males ah, paling kaya sinetron.”

“Kalo yang ini? Judulnya Because of Love.”

“Judulnya aja udah norak, sok kebarat-baratan. Mendingan saya nyewa film barat aja deh sekalian,” ucapku sambil beralih ke rak-rak DVD bagian film barat.

Beberapa menit aku memilh-milih, akhirnya kuputuskan untuk menyewa lima judul film barat: dua film misteri, satu action, dan dua komedi. Segera kubawa sampul film-film itu ke Mbak Atiek di counter.

“Ini aja?” tanyanya.

“Iya, ini aja.”

Ia segera mencatat judul-judul film itu dan mengambilkan beberapa piringan dari sebuah lemari besar. Ia memasukkan piringan-piringan itu ke dalam sampul-sampul CD berwarna putih polos bertuliskan “The Watcher DVD”, kemudian meletakkan sampul aslinya kembali ke rak yang ada tulisan “Keluar”.

Setelah membayar, akupun pulang ke tempat kost sambil membawa lima keping DVD yang baru kusewa. Setelah meletakkan tas, aku segera meraih telepon genggam.

“Halo? Eh, Don. Ntar malem lo ada acara nggak? Gimana kalo ntar lo ajak anak-anak nonton DVD di kost-an gue? Apa? Bukan, bukan film Hentai. Oh, gitu. Jadi lo nggak bisa? Hah, kalo film Hentai bisa? Suek lo!!”

“Halo? Oi, Ben, ntar malem lo ada acara nggak? Gue rencananya mau ngajakin anak-anak nonton film di kost-an gue, gimana? Oh, lo udah ada janji ama cewek lo? Ya udah, nggak apa-apa. Si Dodon juga nggak mau tuh. Apa? Ngajak cewek gue aja? Males ah, kalo ketahuan Ibu Kost, bisa repot nanti.”

“Halo? Poltak ya? Lagi ngapain lo? Ntar malem nonton film yo! Di kost-an gue. Belom tau sih mau ngajak siapa aja, soalnya Dodon sama Beben katanya nggak bisa. Kalo lo gimana? Hah? Kerjaan? Kerjaan apaan? Besok kan libur. Bisnis? Bisnis apa? Em-El-E... Oh enggak deh. Makasih, kayanya gue nggak tertarik. Iya, bener. Eh sorry, HP gue udah low-bat nih. Bener kok. Kalo misalnya gue berubah pikiran pasti gue hubungin. Eh, dikit lagi mati nih. Udah dulu ya.”

“....”

“Halo, Dina. Lagi ngapain, Say? Oh, gitu. Nanti malem kamu ada acara nggak? Mmmm ... bukan sih, aku juga lagi males jalan keluar nih. Gimana kalo nonton film bareng-bareng aja? Bukan, bukan di bioskop, kan aku udah bilang kalo aku lagi males jalan. Ya di kost-an aku. Haaah ... kamu jangan mikir yang jelek-jelek dulu dong, film biasa kok, film action sama komedi. Sumpeh, bukan yang aneh-aneh. Iya, aku tau ini kosan cowok. Caranya? Ya, kamu kan tinggal nyamar jadi cowok,” ... tuut ... tuut ..., “halo? Dina?”

Dengan rasa kesal, aku langsung membanting handphone ku – ke atas kasur tentunya. Menyebalkan sekali kalau harus nonton film sendirian. Memang ini salahku juga, harusnya aku memastikan dulu apakah ada yang bisa diajak nonton atau tidak.

Kuambil kantong plastik berisi film-film yang tadi kusewa, kuperiksa satu persatu. Kira-kira yang mana yang akan kutonton lebih dulu ya? Tunggu dulu. Tiba-tiba saja perhatianku teralih pada satu keping DVD yang tampak aneh. Kuperhatikan label dan bagian bawahnya. Ini bukan salah satu DVD yang kusewa tadi. Kalau melihat dari labelnya, ini kan DVD RW yang biasa dipakai untuk merekam. Apa ini DVD bajakan yang lupa diberi label ya? Tapi di labelnya tertulis dengan spidol hitam, “Tsumi”. Seingatku aku tidak meminjam film yang berjudul “Tsumi”, pasti Mbak Atiek salah mengambil DVD. Kuperiksa judul-judul film yang lain, ternyata memang ada satu film yang kurang. Film laga berjudul “Forbidden Republic”, yang tadi kupilih tidak ada! Pasti tertukar dengan film ini. Makin menyebalkan saja.

Dengan terpaksa, tiga hari libur berturut-turut itu kuhabiskan untuk menonton film di kamar, sendirian. Film-filmnya memang lumayan seru dan menghibur, tapi aku malah merasa kesepian. Teman-temanku hampir semuanya sudah punya acara masing-masing. Sedangkan Dina, pacarku, masih ‘ngambek’ gara-gara kejadian di telepon, waktu aku menyuruh dia menyamar jadi laki-laki agar bisa masuk ke kamarku.

Hari Selasa pun tiba. Pulang kuliah, aku berencana untuk mengembalikan DVD yang kusewa. Memang, dari kelima film itu masih ada satu yang belum kutonton, yaitu film salah ambil itu. Selain karena tidak ada waku, aku juga tidak tertarik untuk menontonnya. Buat apa menonton film yang tidak kuinginkan? Kalau kuberitahu Mbak Atiek, mungkin aku boleh menukarnya dengan film lain, soalnya ini kan murni kesalahan dia.

Aku tiba di depan The Watcher Rental DVD. Tutup. Pintunya tertutup rapat, tak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Aneh sekali, tidak biasanya mereka tutup di hari kerja begini. Apa mungkin Mbak Atiek dan kakaknya sama-sama sedang sibuk, sehingga tidak ada yang menjaga counter? Ah, sudahlah. Karena ini bukan salahku, seharusnya aku tidak dikenakan denda. Akupun segera pulang, dan berniat untuk kesini lagi besok.

Esoknya, The Watcher masih tutup. Karena khawatir dikenai denda, aku mengecek tempat itu hampir setiap hari. Sampai sudah dua minggu berlalu, tak satu hari pun mereka buka. Apa mereka sudah pindah ya? Ataukah mereka bangkrut dan tidak bisa membayar sewa bangunan? Sebenarnya aku merasa tidak enak juga, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak tahu nomor telepon salah satu dari mereka, aku juga tidak tahu bagaimana cara menghubungi mereka.

Dengan putus asa, kubiarkan saja film-film sewaan itu tergeletak di sudut kamar tanpa berusaha mengembalikannya. Bagaimanapun juga, ini bukan salahku, mereka pindah sebelum aku sempat mengembalikannya.

Beberapa minggu kemudian, saat hari libur dan cuaca di luar sana sedang hujan deras, aku tidak ada kerjaan dan hanya tidur-tiduran di kamar. Rasanya membosankan sekali, aku tidak tahu harus melakukan apa. Sambil memandangi langit-langit kamar, aku bersenandung kecil. Tiba-tiba tanpa sengaja tanganku menyenggol setumpuk DVD di samping tempat tidurku. Aku memeriksa benda-benda itu. Film-film dari The Watcher yang belum aku kembalikan sampai sekarang. Kuambil salah satu keping DVD itu. Oh iya, film berjudul “Tsumi” ini kan belum sempat aku tonton. Walau rasanya aku tidak bergairah sama sekali untuk menontonnya, tapi aku segera bangkit dan menyalakan komputer. Daripada tidak ada kerjaan, pikirku. Siapa tahu ini DVD pribadi milik Mbak Atiek? Aku tertawa geli sambil mulai berpikir agak ngeres.

Kumasukkan DVD aneh itu, dan kubuka program Media Player di komputerku. Kutekan tombol “Play” di monitor dengan menggunakan mouse. Beberapa detik kemudian, sesuatu yang ada di dalam DVD itu pun mulai muncul di hadapanku.

Mataku terbelak, keringat dingin keluar dari seluruh tubuhku.

Sementara jantungku serasa berhenti berdetak, kepalaku terasa pusing bukan main. Ini benar-benar tidak masuk akal!

Hujan deras mengguyur jalanan dan membasahi tubuhku. Seminggu yang lalu aku menghilangkan payungku, dan kini aku harus berlari di tengah derasnya tikaman hujan. Rambut dan pakaianku basah kuyup, sementara tanganku berusaha melindungi sebuah DVD yang kubungkus di dalam plastik. Aku berlari secepat mungkin, dengan ketakutan yang luar biasa, ke arah rental DVD The Watcher. Aku harus mendapat penjelasan atas semua ini. Ini adalah hal paling menakutkan yang pernah kualami dalam hidupku.

TOK! TOK! TOK!

Kuketuk pintu The Watcher. Walau tempat itu terlihat tutup dan kosong, aku tak peduli, aku harus mencobanya dulu. Kuketuk lagi beberapa kali, tetap tak ada jawaban.

“Mbak Atiek! Mas Rojib!” aku berteriak sekeras mungkin, siapa tahu salah satu dari mereka ada di dalam.Tetap tak ada jawaban apapun dari dalam. Tak ada suara apapun selain suara hujan yang menghantam jalanan yang sepi.

Tubuhku terasa lemas, nafasku terengah-engah karena berlari tadi. Kuusap wajahku yang basah oleh air hujan, pelan-pelan aku terduduk di depan pintu itu. Kutatap DVD di balik kantong plastik yang kubawa. Tatapanku menjadi kosong, ada air yang menetes dari kedua mataku. Apakah itu air hujan? Ataukah air mata? Kalau itu air mata, apakah artinya aku menangis? Menangis karena apa? Karena takut? Karena malu? Karena bingung?

Sesaat setelah kutekan tombol “Play”, sesuatu yang tak pernah terbayangkan muncul di layar komputerku. Memang, seperti dugaanku, film berjudul “Tsumi” itu adalah sebuah film rekaman pribadi. Saat gambar pertama muncul, aku pun dapat meyakini kalau film itu diambil dengan menggunakan handycam, bahkan tanggal dan jam pengambilan gambarnya pun masih tercantum di layar. Tapi, kengerian yang sebenarnya baru muncul ketika aku menyadari siapa manusia yang menjadi objek di film itu.

Yang pertama kali kulihat di layar adalah ... aku. Ya, maksudku aku benar-benar ada di layar! Aku ‘ada’ di dalam film itu! Di dalam film itu aku berada di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, dan tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa tempat itu adalah kamar kost-ku sendiri. Bedanya, kamarku yang ada di film itu terlihat masih rapi dan agak kosong. Aku ingat! Ini adalah saat aku baru pindah ke tempat ini! Sesaat setelah orangtuaku pergi, dan aku tinggal sendirian. Kulihat apa yang aku lakukan di dalam film itu. Aku mengambil setumpuk majalah porno yang kusembunyikan di dalam kardus, dan kuletakkan di atas lemari.

Adegan berpindah, tanggal dan waktu yang tertera di layar pun ikut berubah. Kini yang aku saksikan adalah sosok aku yang sedang asik menonton film biru di depan komputer di dalam kamar, sendirian. Aku masih ingat kejadian itu, sudah agak lama juga. Film biru itu masih kusimpan sampai sekarang.

Bukan saatnya mengingat hal itu! Ini menakutkan! Seseorang merekam kegiatanku di dalam kamar! Kuamati sudut pengambilan gambar di film itu, aku tahu dari mana film ini direkam. Pasti seseorang memasang kamera tersembunyi di kamar ini! Tanpa menghentikan film, aku segera melompat ke atas kasur, memeriksa sisi atas dinding yang dihimpit oleh lemari pakaian. Kalau melihat sudut pengambilan gambar di film, aku yakin di sinilah kamera tersembunyi itu seharusnya terpasang. Kuamati tempat di sekitar dinding itu, aku tak menemukan suatu benda apapun yang mencurigakan, hanya sebuah noda hitam di dinding seperti bekas terbakar.

Aku menoleh lagi ke layar komputer, ke arah film yang masih berlanjut. Tiba-tiba saja kakiku lemas, seluruh tubuhku merinding. Ternyata ‘pengawasan’ itu bukan hanya terjadi di kamarku saja! Tampaknya seseorang mengikutiku dan merekam setiap kelakuan burukku!

Adegan yang kulihat di monitor sekarang adalah aku yang berada di teras sebuah rumah. Aku tahu, ini adalah rumah Dina. Aku duduk di sebelah Dina dan merangkul pundaknya. Beberapa saat kemudian terlihat adegan aku berusaha mencium bibir gadis itu. Dina menolak. Ya, aku masih ingat dengan jelas kejadian waktu itu. Watku itu aku datang ke rumah Dina saat kedua orangtuanya sedang tidak ada di rumah, dan aku lepas kendali, mencoba memanfaatkan keadaan. Terlihat adegan saat aku berusaha merayu Dina. Aku terduduk lemas melihat tayangan itu. Ada bagian di dalam diriku yang merasa malu menyaksikannya.

Beberapa detik kemudian, adegan berpindah lagi. Kali ini di sebuah tempat parkir yang sepi, hanya ada aku di antara barisan sepeda motor. Terlihat aku berjongkok di samping sebuah sepeda motor berwarna merah. Aku mengeluarkan sebuah paku besar dan menusukkannya ke ban sepeda motor itu. Aku ingat, itu adalah sepeda motor Vandy. Waktu itu aku cemburu pada Vandy karena ia ingin merebut Dina dariku, maka sepulang kuliah aku mengempesi ban sepeda motornya.

Adegan berubah lagi. Masih di tempat parkir, namun kini di tempat parkir mobil. Terlihat aku mengeluarkan sebuah pisau kecil dari saku celanaku, lalu aku menggoreskan pisau itu ke sebuah mobil berwarna hitam, membuat sebuah goresan yang dalam dan panjang melintasi bagian samping tubuh mobil itu. Itu adalah mobil Pak Galuh, salah seorang dosen di kampusku. Waktu itu adalah akhir semester, aku marah karena ia menuduhku sering membolos, padahal aku sudah memberikan surat izin sakit, tapi ia malah mengira kalau surat itu palsu. Akhirnya aku tidak lulus di mata kuliah itu, dan aku balas dendam dengan merusak mobilnya.
Sekali lagi adegan berganti, memperlihatkan aku yang sedang bersama teman-temanku.

“Cukup!” aku berteriak sendirian seperti orang kesetanan.

Aku segera meraih mouse dan menekan tombol “Stop”. Film itu berhenti. Aku tidak tahan lagi melihat semua ini, amat menakutkan. Keringat dingin membasahi tubuhku ketika aku mengeluarkan DVD itu dan mematikan komputer.

Hujan deras tak juga mau berhenti. Hujan itu amat deras, seakan merayakan ketakutan dan ketidakberdayaanku saat ini. Aku masih terduduk lemas di depan pintu The Watcher yang masih juga belum menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Kali ini aku sudah dapat memastikan kalau yang mengalir di pipiku ini adalah air mata. Kugunakan tanganku untuk menyekanya. Aku harus tetap tenang dan berpikir rasional, pikirku.

Kira-kira siapa yang bisa merekam segala aktivitasku seperti itu? Apakah satelit? Tapi apa iya, satelit bisa melihat menembus tembok? Lagipula jelas-jelas kalau itu adalah rekaman handycam. Atau mungkin ada seorang mata-mata profesional yang dapat memasang kamera tersembunyi di dalam kamarku, dan mengikuti gerak-gerikku sambil menenteng handycam? Tapi untuk apa? Aku kan bukan penjahat yang harus dimata-matai? Atau mungkin ... wartawan? Oh iya, mungkin paparazzi? Mustahil! Aku bukan selebritis!

Setiap kemungkinan yang aku pikirkan tampak tidak masuk akal. Di tengah kebingunganku, aku teringat kata-kata ibuku ketika aku masih kecil dulu.

“Nanti ya, Ray, di akhirat semua orang bakal dikasih liat semua perbuatan dosanya,” ucap ibuku kepadaku yang waktu itu masih SD.

“Dikasih liat, maksudnya gimana, Ma?” tanyaku.

Aku ingat, waktu itu aku sedang persiapan ujian pelajaran Agama di sekolah, ibuku bercerita macam-macam.

“Iya, dikasih liat. Di akhirat ada layar besar lho, kaya di bioskop. Terus orang itu bakal disuruh nonton jadinya dia nggak bisa bohong lagi.”

“Lho, kok bisa? Emangnya siapa yang ngerekam filmnya, Ma?”

“Ya ampun, Ray, gimana mau dapat nilai bagus nih ujiannya? Masa gitu aja kamu lupa? Kan udah Mama ceritain, kalau di samping kanan dan kiri setiap orang itu, ada malaikat yang selalu mengawasi dan mencatat perbuatan kita!”
JGERR!!!
Sebuah suara halilintar yang amat keras memecah lamunan tentang masa kecilku. Aku kembali tersadar, kini aku ada di depan pintu The Watcher yang tak juga terbuka. Hujan masih terus turun. Apakah aku duduk terdiam di sini untuk menunggu hujan sampai reda? Ataukah aku duduk terdiam karena terlalu lemas untuk berdiri?

Tiba-tiba seorang ibu-ibu berpayung berhenti di depan teras bangunan itu. Tampaknya ia heran melihatku yang berada di sini dengan pakaian yang basah kuyup.

“Dik, nyari siapa? Nyari Mbak Atiek ya?”

Aku berusaha untuk bangkit dan menjawab pertanyaan ibu itu, “Iya, Bu. Ibu tau sekarang Mbak Atiek atau Mas Rojib ada dimana?”

“Saya juga nggak tau. Mereka nggak bilang pindah kemana. Kata anak-anak yang suka nongkrong di deket sini sih, rental ini udah disewa orang lain dan sebentar lagi mau dijadiin rumah makan.”

Aku nyaris putus asa mendengarnya. Ternyata percuma saja aku bolak-balik ke tempat ini, aku tak akan menemukan mereka di sini.

Beberapa menit setelah ibu itu pergi, hujan mulai reda dan hanya menyisakan gerimis. DVD “Tsumi” itu masih kupegang erat di balik kantong plastik yang basah. Di dalam hatiku, ada keinginan untuk mencari keberadaan Mbak Atiek dan Mas Rojib. Mungkin saja mereka tahu asal-usul rekaman ini.

Aku melangkah keluar dan berniat kembali ke tempat kost. Genangan air menghiasi setiap langkah kakiku. Hujan sudah berhenti sekarang, tapi langit masih mendung. Saat itulah mereka berdua muncul. Ya, mereka adalah Mas Rojib dam Mbak Atiek. Wajah mereka terlihat datar dan tidak enak untuk dipandang. Entah kenapa kaki ku terasa bergerak sendiri - membuatku mundur beberapa langkah kebelakang dengan tak teratur - aku pun terjatuh.

"Apa kau sudah mengakuinya?" mereka berbicara bersamaan.

"A-Apa maksudnya ini?" Suaraku terdengar gemetar, namun sebenarnya aku mencoba berteriak kepada mereka.

"Rayhan Maulana... Apa kau lupa?"

Lagi-lagi mereka berbicara bersamaan, kini suara mereka mulai bergema di pikiranku.  Berbagai gambaran aneh bermunculan didalam kepalaku seiring gema suara itu. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak untuk mendengar kalimat selanjutnya. Jadi, Aku menutup kedua telinga dan terus meneriakan kata "Diam!". Namun mereka tampak tak perduli. Aku sudah tahu apa yang hendak mereka katakan, sebelum akhirnya mereka sendiri yang mengatakannya...

"Kau sudah mati."


Friday, March 24, 2017

Ecnahc Dnoces: Meeting Forest




Jepang, 14 April 1995...
Disana pemuda kurus itu berdiri tegap. Sepertinya, dia sedang kebingungan. Otaknya benar-benar telah kehabisan akal. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja dia berada di tempat gelap. Selain gelap juga tak ada apa-apa disana. Kosong, begitu hampa Masih ada satu keanehan lainnya. Meski gelap, tapi kenapa dia masih saja bisa melihat tangannya?

Sebelum akhirnya, otaknya bisa menjawab kejadian tak masuk akal tadi. Dia dikejutkan lagi oleh seberkas cahaya putih. Lalu, seberkas cahaya itu perlahan-lahan berubah menjadi air terjun. Pohon-pohon juga mulai tumbuh cepat disana. Suara kicauan burung mulai terdengar. Cahaya dihadapan air terjun juga muncul. Perlahan-lahan berubah menjadi seorang wanita.

“Hai, kemarilah. Bermainlah denganku. Aku begitu merindukanmu.” sapa gadis itu dengan lembut.

“Sepertinya, aku mengenalmu. Tapi, siapa kau?” teriak lelaki kurus itu sambil berlari dan terus mendekat.

Dia begitu penasaran apa sebenarnya yang terjadi. Bahkan, dia merasa tak pernah mengenal wanita itu. Dia terus saja berlari dan berlari. Semakin dekat dan semakin dekat. Membuatnya ingat akan mantan pacarnya. Belum lagi, wanita itu memakai pakaian putih. Putih menjadi warna kesukaan mantan pacarnya sejak dahulu. Hal itu membuatnya semakin yakin.

“Are, Apa kau telah melupakanku? Apa kau tidak ingat ini?” Kata wanita itu sambil menunjukan selembar daun.

“Hinami, jadi ini benar-benar kau?” Kata lelaki itu..

Sesaat kemudian, dia telah berada dibelakang wanita yang bernama Hinami. Begitulah, yang terlintas di pikirannya. Nafasnya memburu liar dan perlahan-lahan kembali normal. Tubuhnya yang semula merunduk. Kini, dia tegapkan kembali.

“Ya, begitulah, Jun” Kata Hinami sambil berbalik badan dan tersenyum.

“Hinami” kata Jun dengan mata berkaca-kaca.

Mereka berdua kini tlah berpelukan, hal itu memang sudah tak dapat dihindari lagi. Jun mulai mengeluarkan tangisnya. Begitu lama, dia menantikan hal seperti ini terjadi. Walaupun dia tahu keinginannya, mustahil untuk di capai. Bahkan, kalaupun dia berdoa pagi hingga malam. Itu semua tidak akan terkabulkan.

“Ano ne... Sudah lama, kita tak bertemu. Semenjak kejadian hari itu.” Kata Hinami mulai terisak-isak.

“Sudahlah, aku tak ingin membahas kejadian itu.” Kata Jun sambil melepaskan pelukkannya, tangannya berusaha menghapus air matanya.

“Benar, kalau di ingat-ingat kejadian itu begitu memilukan. Sekarang bagaimana? Kalau kita mencari tempat untuk bercerita-cerita tentang pengalaman kita.”

“Ide yang bagus bagaimana kalau dibawah pohon Sakura itu saja.” Tunjuk Jun.

“Baiklah, aku setuju” Kata Hinami tersenyum dan lalu menghapus air matanya.

Mereka mulai melangkah menuju pohon besar itu. Mereka tak banyak berbicara. Hanya sesekali menebarkan senyum. Sesekali juga mereka menukar pandang. Terkadang mereka hanya melihat sekitar. Menikmati derunya suara air terjun. Suara gesekan daun dan angin. Rumput yang bergoyang. Awan cerah yang begitu biru.

“Ah sudah, sampai” Kata Jun memecah keheningan diantara mereka.

Hinami hanya tersenyum memandang Jun. Mereka lalu membaringkan tubuh mereka diatas rerumputan. Mereka saling memandang.

“Daritadi, aku penasaran. Bagaimana bisa kau bertemu aku? Padahal aku ini sudah meninggal” Kata Hinami penuh tanya.

“Sebenarnya aku bingung harus menjelaskan darimana?” Kata Jun sambil mengaruk-garuk kepalanya.

“Jelaskan saja dari awal kita mengalami kecelakan pada waktu itu.” Saran Hinami.

“Baiklah”.

* * *

Beberapa bulan sesudah Hinami dimakamkan. Jun berjalan sendirian sambil menundukkan kepala. Tampangnya begitu lemas dan lesu. Setelah beberapa bulan ini mengalami Insomnia yang tak bis aia jelaskan. Sebenarnya bukan itu yang menjadi masalah. Dia tidak terima saja akan kenyataan ini. Dia tidak percaya, tahunnya yang dulunya dijalani dengan sukacita. Kini harus dijalankan sendiri. Tanpa, siapa-sipapun yang menyemangati.

“Kini hidupku sebatang kara. Setelah di tinggal Ibu dan Ayah. Kini, aku di tinggal Hinami.” Keluh Jun di dalam hati.

Dia terus saja menahan sedih. Setibanya dia di taman, tempat dimana ia membuat banyak kenangan didalam memorinya. Dia duduk di kursi, dimana tempatnya sepi. Disana, setiap senja dia habiskan waktu untuk menangis. Terkadang juga mengutuk Takdir. Kadang-kadang pula hanya diam merenung.

Sampai suatu hari, dia menemukan sebuah brosur aneh. 'Ecnahc Dnoces' tertulis dalam huruf kapital dengan ukuran besar. Dia tak mempermasalahkan judul brosur itu. Tapi ia sangat tertarik dengan isi brosur itu. Bahkan ia tak sedikit pun bertanya tentang darimana brosur itu.

Ecnahc Dnoces

“Apapun keinginan anda pasti bisa tercapai. Asalkan pertukarannya setara”

Slogan Ecnahc Dnoces.

Brosur singkat yang memang agak memusingkan. Tapi, Jun tak mau mengambil pusing . Padahal hanya niat untuk pergi ke tempat itu. Tiba-tiba saja semua pandangannya menjadi memutih. Tak sampai hitungan detik, lingkungan disekitarnya berubah menjadi sebuah tempat yang familiar dengan toko barang antik, atau mungkin tidak. Karena memang jelas seperti ruangan antah berantah yang dipenuhi benda-benda aneh. Tapi semua itu tak lantas membuat Jun tertarik. Dia hanya ingin satu bertemu dengan Hinami.


Beberapa saat kemudian muncul seorang wanita cantik yang mengaku sebagai Asisten manager. Jun hanya mengiyakan karena dia tak sabar lagi ingin mengapai satu keinginannya. Dari tadi ubun-ubunnya dipenuhi oleh Hinami.

“Ayo, ikutlah denganku.” Kata wanita itu, yang baru saja ia ketahui namanya adalah Visha.

“Oh, jadi begitukah. Keinginan mu ingin bertemu dengan Hinami. Oops, ternyata dia sudah meninggal.” Kata Visha..

Jun merasa heran. Entah kenapa wanita itu bisa mengetahui keinginannya. Padahal ia ingat ia belum mengatakannya sama sekali.

 “Ah, ya silakan isi formulirnya di meja sana. Lalu berikan lagi kepadaku.”

Jun mengganguk dan ikut berbaris dengan rapi. Bisik-bisikan pelanggan yang lain, membuat Jun tahu kalau Visha itu menyeramkan. Ah, maksudnya cepat marah. Walaupun sebenarnya dia tak sabar lagi dan ingin menerobos. Setelah beberapa menunggu, diapun mengisi forlmulir dengan pena berbentuk aneh. Lalu, menyerahkannya kepada Visha.

“Silakan duduk di ruang tunggu.” Kata Visha.

Sekali lagi Jun hanya mengangguk dan menaati perintah Visha.

“Tanaka Jun! ” Kata Visha memanggil nama lengkap Jun.

Jun langsung menuju ke meja resepsionis. Disana, Jun menemui seorang lelaki tampan dengan wajah datar. Dengan sifat yang agak aneh pula. Pria itu sama sekali tak perduli pada pelanggan. Begitulah kira-kira sifat anehnya menurut pemikiran Jun. Xeon, namanya. Begitulah, yang di lihat Jun pada tanda pengenal Xeon.

“Kau menginginkan bertemu dengan kekasihmu yang telah meninggal, walaupun hanya sebentarka?.” Tanya Xeon dengan suara datar.

“Ya.”

“Apakah kau bersedia untuk menukar bakatmu, satu bakatmu artinya kau bisa bertemu dengan kekasihmu hanya lima belas menit.Jadi berapa bakat yang ingin kau tukar?”

“Aku memiliki sekitar delapan bakat. Jadi, aku ingin dua jam.”

“Baiklah, tutup matamu. dan kalian akan bertemu di Meeting Forest”

* * *

“Begitulah kira-kira ceritanya.” Kata Jun.

“Apakah kau tidak menyesal telah membuang bakatmu hanya itu aku?" Tanya Hinami.

“Tidak. Sama sekali tidak. Karena bakat hanyalah salah satu perantara untuk mencapai impian. Tak punya bakat bukan berati tak bisa mencapai impian itu. Karena untuk mencapai sesuatu impian kita memiliki perantara lain yaitu usaha. Satu bakat hilang artinya kita harus berusaha lebih keras daripada sebelum kita mempunyai bakat.”

“Hmmm... rasanya kamu sudah dewasa. Baiklah kurasa waktu kita tidak banyak lagi. Bagaimana kalau kita bermain-main?” Kata Hinami semangat.

“Main? Apa?”.

“Memainkan musik dari daun ini.”

“Tentu.” Jawab Jun mengacungkan jempol.

Mereka lalu memainkan musik dari daun itu. Terkadang mereka bermain kejar-kejaran. Juga terkadang siram-menyiram air. Sesaat kemudian merekapun duduk dibawah pohon Sakura lagi. Sambil bercerita-cerita tentang Kenangan. Tetapi, tidak termasuk kedalam kenangan yang suram.



1 jam lebih 30 menit sudah berlalu...

Tiba-tiba, tubuh Hinami mulai memancarkan sinar terang. Begitupun dengan lingkungan disekitar mereka. Pohon-pohon mulai menghilang. Suara burung dan angin mulai terdengar lirih.

“Sepertinya, waktunya telah tiba.” Kata Hinami. “Selamat tinggal, Jun. Jangan tangisi aku lagi. Karena kehidupan akan tetap berjalan walau tanpa atau hadirnya diriku disisimu.”

Hinami mulai tersenyum dan menahan sedih. Jun membalas senyumnya dengan senyum. Namun seberapa baikpun ia mencoba terus tersenyum, air mata tetap saja keluar

“Selamat tinggal, Hinami. Semoga kau bahagia disana.” Teriak Jun.



"Kamu juga, semoga bahagia dengan kehidupan barumu." Hinami membalas dengan tersenyum.

Merekapun saling bertukar senyum untuk yang terakhir kalinya.

______________________***_______________________ 

"Ahhh... Aku bingung, Xeon." kata Visha disela kesibukan.
"Soal Apa?" Xeon menyahutnya dengan singkat.
"Bukankah dulu kau pernah bilang bahwa kau tidak bisa menggapai dunia kematian? Tapi kenapa kau mampu membawa arwah gadis itu ke Meeting Forest?" tanya Visha dengan panjang lebar.
Xeon menoleh ke arah Visha, lalu berkata, "Mungkin kau memang harus tau. Arwah yang belum bisa di relakan, tidak boleh masuk ke Dunia sana. Jadi, dia menempatkan mereka di Meeting Forest. Tempat dimana orang mati menunggu untuk di ikhlaskan..."

Xeon berhenti sejenak, lalu melanjutkan...

"Tempat ini berada di antara dunia orang hidup dengan orang mati. Artinya, kekuatanku masih bisa menggapai arwahnya selama arwah itu masih belum di genggam oleh-NYA. Begitulah."

"Oh, jadi seperti itu ya." Visha mengangguk mengerti, "Eh, ngomong-ngomong yang kau maksud 'NYA' itu siapa?"

"Ah... dia ya. Dia adalah makhluk yang tidak senang dengan keberadaan kita. Para entitas abadi. Dialah yang manusia sebut dengan sang KEMATIAN." jelas Xeon dengan suara datar.

Mendengarnya, Visha tampak sedikit terkejut. Kemudian mereka melanjutkan pekerjaan.


ARC BERAKHIR

Wednesday, March 22, 2017

Hartaku Yang Berharga

[Puisi]
Ingatkah...?
Setiap kali bertemu, kita selalu saja bertengkar
Laksana Awan bertemu dengan Angin, maka akan terjadi badai
Ah, mungkin Aku terlalu berlebihan
Namun tahu-kah kamu? itulah kenangan terindah dalam hidupku
Kau selalu mengajarkanku, agar aku tidak lagi merasa takut
Selemah apapun diriku, Aku berhak merasakan kebahagiaan, karena itulah...

Aku akan berjalan sendirian, walau sangat sulit rasanya
Dan akan kubawa impianmu bersamaku
  Karena bahagia-ku adalah bersamamu, bukan yang lain
Tapi di pagi hari ketika kuterbangun, tak kudapati dirimu disini
  Padahal rasanya kita baru saja bersenang-senang

Aku mengerti kalau itu hanya sekedar rasa ku
Tapi perasaan itulah yang membuatku tak lagi menyesali hidup
Meski kutahu akan dilanda kesepian yang teramat sangat
Dan kini  Aku akan pergi ke mana pun dengan pelajaran yang telah kudapatkan
Melalui jalan hidup yang telah kau ajarkan
Melalui pesan yang kau gambarkan lewat senyum, tertawa, dan tangis
Atau melodi yang senantiasa kau senandungkan, kala senja
Karena itulah,
 Akan kuwujudkan impian bahagia itu
Meski terpisah denganmu dari jarak yang takkan pernah bisa ku gapai
Aku akan tetap melanjutkan hidup di pagi yang baru
Karena kau selalu berkata, "Walau dunia ini gersang. Hidup mesti terus berjalan, kan?"
Kata-katamu itu, selalu terngiang di telingaku

Walau nyatanya aku tlah sendirian, walau diriku terasa akan mati
Terdengar seruanmu yang berkata "Tetaplah hidup!"
Walaupun terasa sangat sulit, Sampai aku menangis dalam kesunyian
Merintih dalam kepekaan
Jauh didalam hatiku, masih kurasakan kehangatan darimu
Berjalan, menyusuri alur waktu yang terus berputar
Entah apa yang kan terjadi nanti, pada waktu dimana aku berada didalam kebuntuan
Apa yang kan terjadi setelah itu? Aku tak bisa membayangkan
Namun ketika aku mencoba menutup mata, aku dapat mendengar suara tawa mu..
  Karena hal itu telah menjadi Harta yang paling berharga bagiku
Yang mungkin akan kupendam jauh didalam ingatan semu
Jakarta, 16 Maret 2017

Monday, March 20, 2017

Ecnahc Dnoces: Drawing My [Real]World



Indonesia, 15 Februari 2016...
 
Laki-laki yang percaya bahwa hanya dengan satu sentuhannya saja, dunia bisa ia kendalikan sesuka hati. Mengayun-ayunkan tangannya, menari-narikan jemarinya, ia bisa mengubah dunia dengan mudah. Menciptakan sesuatu, menghapus sesuatu, menodai, menggores, dunia yang ia ubah bisa berupa apapun, sekalipun itu sangat buruk.

Bukan sebuah kekejaman, bukan juga sebuah kearoganan, namun hanya kehendak, itu saja. Hatinya beku, tidak ada yang menghangatkan, sekalipun dirinya sendiri. Ia sudah berulang kali menembus dinding pembatas antara dunia damai dengan dunia kehancuran. Menciptakan dan menghancurkan sesuatu tidak akan menggoyahkan dirinya lagi.

Manusia diciptakan untuk bisa beradaptasi, dan ia sudah terbiasa oleh itu.

Tetapi sekuat apapun manusia mencoba untuk menjadi dingin, jauh di dalam dirinya sesuatu pasti perlahan hancur kelak. Hanya memendam dan meledak ketika tidak bisa ditampungnya lagi. Rasa penyesalan tidak bisa abaikan olehnya, membuat dirinya ingin sekali berhenti. Tidak hanya sekali, ia sudah berkali-kali mencoba untuk berhenti. Namun ia terlambat, kecanduan dalam dirinya tidak bisa hilang begitu saja.

Dan itu terus membuatnya menciptakan dunia, dunianya sendiri.

Ya, dunia ciptaannya berbeda dengan dunia yang ditinggali oleh manusia lain. Sepi, tentram, dan berangin adalah sesuatu yang dirasakan oleh seseorang yang melihat dunianya. Tidak ada siapapun, tidak ada seorangpun, hanya dirinya dan panorama. Menyisakan perasaan yang tidak biasa ketika seseorang selesai melihat dunia itu.

Tidak ada yang aneh, tidak ada pula yang bisa dipertanyakan. Itu hanya khayalan, keinginan semu seorang laki-laki yang lari dari dunia yang sesungguhnya. Meninggalkan semua yang belum dan sudah dicapainya, meninggalkan semua yang ada di sekililingnya, ia memaksa diri untuk tidak merasa membohongi dirinya sendiri. Ya, ia tidak mengakuinya. Bahkan ia menghapus kata-kata “membohongi diri sendiri” dari ingatannya yang samar-samar itu. Ia tenggelam di dalam mimpi.

Ia tidak bisa tinggal di dunia yang sesungguhnya.

Sekuat apapun manusia beradaptasi, jauh di dalam dirinya sesuatu pasti akan hancur. Bagaimanapun juga, dunia yang sesungguhnya bukanlah untuknya, itu yang ia pikirkan. Berlama-lama di tempat itu hanya akan membuatnya perlahan membusuk.

Apapun yang akan diraihnya pasti akan hilang darinya. Itu bukan kegagalan melainkan kesengajaan. Tidak ada yang mengizinkannya untuk mendapatkan sesuatu, sekalipun itu orang terdekatnya. Senyum manis yang ia hadapi bukanlah teman, semuanya adalah ilusi. Itulah yang membuatnya selalu melakukan apa yang ia anggap benar, sekalipun semua orang menentangnya. Ya, ia hanya percaya pada dirinya sendiri.

Tidak ada yang menolong, bahkan tidak ada yang peduli dengannya meskipun hanya satu detik saja. Semuanya acuh, berpikir hanya malapetaka yang akan mereka dapat jika berurusan dengannya. Tanpa disadari tercipta dinding pembatas yang memisahkannya dengan semua orang. Ia sudah dianggap sebagai sesuatu yang berbeda dengan mereka.

Itu bukan salahnya, ia sama sekali tidak bersalah. Bahkan ia tidak pernah membunuh seekor semut sekalipun. Tangannya bersih, belum ada noda satupun yang membuatnya pantas untuk menerima hal menyakitkan itu. Merasa atau tidak, logikanya tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa dirinya pantas menerimanya.

Itu bohong.

Itu omong kosong.

Itu bukanlah keadilan, jauh dari logika.

Ironis, dinding pembatas yang diciptakan oleh semua yang ada di sekililingnya membuatnya nyaman duduk sendirian di sudut ruangan setiap hari. Meski ia memiliki banyak waktu luang di sudut itu, ia tidak pernah bisa menemukan jawaban atas kesalahannya, bahkan ia tidak pernah merasa melakukan sesuatu yang keji. Menyendiri dan berpikir, ia menjalani hidupnya tanpa arah dengan hal yang tidak berguna. Hingga pada akhirnya, ia tahu akar dari semuanya.

Sekali lagi, itu bukan salahnya, ia sama sekali tidak bersalah. Kalaupun memang demikian, lahir di keluarga itu adalah sebuah kesalahan besar. Tidak, jika mereka sanggup lolos. Namun sebaliknya, mereka membuat kehidupan seseorang yang masih bersih dan mungil hancur begitu saja tepat saat ia mulai mengambil nafas pertamanya.

Ia tidak terkutuk.

Ia bukan keturunan iblis.

Ia bahkan tidak meminta hal itu.

Selalu mencoba menjalani kehidupannya dengan sangat baik, ia selalu terjatuh. Bukan karena kegagalannya melainkan karena kesengajaan orang di sekelilingnya. Ia tidak tahu apa-apa, hanya mengerti bahwa hidup memang tidak mudah. Tapi ia keliru, itu bukan karena hidup memang tidak mudah melainkan semuanya membuat hidupnya tidak mudah.

Kepolosannya tidak bisa membuatnya mengerti saat itu, hanya seperti anak domba yang tersesat. Ia hanya bisa menerima semuanya bulat-bulat. Sendirian berjalan, itu sudah seperti bagian dari dirinya. Tidak ada yang menemani, bahkan ia sendiri tidak menginginkan seseorang menemaninya. Ia nyaman sendiri, sekali lagi itu sudah seperti dirinya sendiri.

Ia tidak bisa melupakannya hingga kini.

Mengayun-ayunkan tangannya, menari-narikan jemarinya, ia menciptakan berbagai macam dunia. Tidak hanya malam, apapun musimnya, apapun cuacanya, apapun tempatnya, dengan mudah ia ciptakan selaras dengan nafasnya yang beraturan. Sesuka hati, sebanyak mungkin, hingga ia puas dan masuk ke dalam dunianya tersebut.

Mengunci dirinya dalam-dalam di dunianya tersebut, ia tidak ingin kembali ke masa lalu maupun masa kini. Sama saja, ia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan. Dunia yang sesungguhnya tidak pantas untukknya, itu yang ia pikirkan. Hanya menambah kesedihan dan menanamkan beban yang lebih berat saja, tidak ada gunanya ia berada di dunia yang sesungguhnya. Jadi, ia mencoba untuk memalingkan wajahnya dari dunia itu.

“Ada orang di dalam?”

Suara itu ia abaikan. Ia masih duduk di sudut ruangan dan itu yang selalu ia lakukan. Menatap kosong udara yang ada di ruangan yang sempit, ia seperti tidak bernyawa lagi. Jiwanya mati dan tidak ada yang menolongnya. Bila saja ada cahaya hangat yang menyentuh permukaan kulitnya, mungkin masih ada kemungkinan untuknya tersenyum.

“Halooo, ada orang?” Laki-laki yang dari tadi berteriak dari luar ruangan itu lama-lama mengecilkan volume suaranya. Wajar saja, ia sudah berulang kali berteriak dan tidak ada seorangpun yang menanggapi. Pekerjaan yang saat melelahkan jika berhadapan dengan pemilik ruangan seperti itu. Jadi, itu adalah teriakan terakhirnya untuk ruangan itu.

“Hmmm, percuma, aku menyerah. Lebih baik aku masukkan saja lewat celah di bawah ini.”

Laki-laki itu memasukkan selembar kertas ke dalam lubang yang ada di bagian bawah pintu ruangan itu. Ada sedikit harap darinya untuk tersampaikannya kertas tersebut kepada pemilik ruangan itu. Namun apa boleh buat, jikalau tidak, setidaknya ia sudah mencobanya. Jadi, tanpa pikir panjang laki-laki itu pergi menjauh dari ruangan itu menuju ke ruangan lainnya.

Meskipun sedikit, harapan tersebut terkabul.

Mendengar sesuatu masuk melalui lubang suratnya, pemilik ruangan itu perlahan berdiri. Tatapannya masih kosong, seperti tidak peduli dengan hal tersebut. Hanya saja ia refleks melakukannya karena selama bertahun-tahun tidak ada yang pernah memasukkan sesuatu ke dalam lubang suratnya. Kalaupun ada, itu hanyalah selebaran-selebaran atau lembaran-lembaran iklan tentang suatu produk atau pekerjaan. Itu saja tanpa ada ketukan pintu, bahkan panggilan saja tidak. Jadi, muncul harapan di dalam dirinya akan hal baru ini.

Diambilnya kertas kecil itu dengan mudah meski ruangan itu gelap. Terlihat seperti iklan, hal itu membuat harapan dalam dirinya redup. Hanya sebentar saja ia memfokuskan pikirannya untuk membaca judul dari iklan itu sebelum kemudian melepaskan kembali konsentrasinya. “Ecnahc…” adalah sebuah kata yang pertama kali ia baca, sampai di situ ia sudah tidak mempedulikan kelanjutannya.

Hanya sampah, pikirnya.

Ia membalikkan badan dan berjalan kembali menuju sudut ruangan sembari menatap kosong kertas kecil itu. Lambat dan tidak memiliki determinasi, asalkan pada akhirnya sampai, ia tidak peduli. Ia tidak memerlukan kemantapan diri, determinasi, kepercayaan diri, karena memang semua itu tidak berguna dalam hidupnya. Ia hanya membutuhkan kreativitas, itu saja yang bisa ia pikirkan.

Namun ia berhenti di tengah-tengah ruangan, satu-satunya tempat yang menerima cahaya matahari dari celah-celah atap. Baru saja ia memikirkan suatu hal dan kini ia ingin menarik kalimatnya kembali. Ya, ia membutuhkannya, ia membutuhkan determinasi, kemantapan diri, kepercayaan diri. Kali ini ia memang mendapatkan kertas iklan yang tidak biasa.

Sudah saatnya untuk ia menyambut cahaya matahari.

Untuk orang normal pada umumnya, membawa dompet dan berpakaian rapi adalah hal yang dilakukan ketika meninggalkan rumah. Namun untuknya, ia hanya mengambil sebuah buku coklat tebal yang selalu ada di sisinya itu. Buku yang sudah seperti menjadi bagian dalam dirinya, selalu menopang kehidupannya.

Buku itu adalah Dunianya.

Tidak, tidak ada yang aneh. Ia bukannya tidak normal ataupun sejenisnya. Ia masih normal dan apa yang selalu ia lakukan adalah hal yang biasa saja. Namun, keadaan yang membuatnya melakukan hal yang tidak biasa di mata banyak orang, tetapi masih biasa di matanya sendiri. Itu menjadikannya terlihat berbeda dengan yang lainnya.

Berkeliling tanpa arah membuatnya tersesat. Bahkan ia tidak tahu arah mana ini dan arah mana itu. Ini bukanlah dunianya, ia tidak terbiasa dengan dunia ini lagi. Memaksanya untuk menggunakan intuisinya yang setajam elang, dunia ini sangatlah kejam. Namun itu tidak ia rasakan terlalu lama karena pada akhirnya ia menemukan pintu yang menggantungkan papan yang bertuliskan “Ecnahc Dnoces”.

Tanpa disadari, ia sudah berdiri di dalam ruangan yang cukup luas. Bisa ia lihat seseorang sedang duduk di sebuah kursi hitam yang besar dengan meja kantor yang ada di depannya. Meja itu berantakan. Buku-buku, alat tulis, gelas, semuanya tidak rapi dan acak-acakan. Lebih berantakan daripada ruangan kecilnya yang gelap itu.

Selain hal itu, terasa sangat sepi untuk ukuran ruangan yang cukup luas. Ya, hanya ada seorang laki-laki, meja, kursi, dan sebuah almari. Ia mulai meragukan kantor ini. Kotak tiket pun tidak akan sesepi ini.

“Selamat datang di Ecnahc Dnoces! Ada yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba dari belakang ia mendengar suara seorang wanita yang cukup keras, memecah keheningan suasana, dan tentu saja mengagetkannya hingga membuatnya menjauh beberapa langkah.

Dilihatnya pemilik suara itu dengan cermat. Cantik, ramping, dan cukup tinggi, wanita itu terlihat seperti model Korea. Namun ia tidak peduli, bukan itu yang ia inginkan.

“Ah! Dimana sopan santun saya? Perkenalkan, nama saya Visha. Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?”

“….”

Laki-laki itu terdiam. Tidak, ia tidak diam karena sengaja atau sejenisnya melainkan karena memang ia sudah lama tidak berbicara, bisu adalah hal yang wajar. Namun ia memiliki akal. Diambilnya pena yang ada di dalam buku coklat tebal yang dibawanya itu dan ia mulai menulis sesuatu. Tidak lama, ditunjukkanya tulisan itu kepada Visha seakan hanya itu saja yang bisa membuat mereka berkomunikasi.

[“…..Kau boleh memanggilku Rio.”]

Itu saja? Pikir Visha.

“Ummm…silahkan duduk di kursi itu, saya akan membawakan Anda beberapa makanan,” ucap Visha sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di depan meja kantor itu. Rio tidak merasa ingin memakan sesuatu tetapi terlambat untuk memberitahukannya karena Visha sudah hilang dari ruangan itu sebelum ia sanggup menyelesaikan menulis kalimatnya.

Apa boleh buat, Rio akhirnya duduk di kursi yang disarankan oleh Visha, kursi roda, terasa cukup aneh memang. Di depannya adalah meja kantor, dan di depannya lagi adalah sebuah kursi terbalik yang Rio tahu bahwa ada seseorang yang duduk disitu.

“Maaf membuat Anda menunggu, silahkan.” Visha lagi-lagi muncul dengan tiba-tiba, menyajikan cemilan dan secangkir kopi di meja kantor yang semakin berantakan itu. Kali ini Rio menyempatkan diri untuk menunjukkan kalimat yang tadi ia tuliskan.

[“…Keinginanku bukanlah makanan. Aku tidak memerlukannya.”]

Visha terlihat cukup kaget sebelum kemudian membalas, “Wow, pelanggan yang tidak sabaran. Apakah bahkan dari awal Anda mempercayai Ecnahc Dnoces ini?”

[“…Aku mempercayai apa saja yang aku lihat dengan mataku ini. Aku akan sepakat jika memang keinginanku terkabul.”]

“Sepakat? Bukankah kita belum membuatnya? Kalau begitu, apa yang Anda tawarkan?” tanya Visha lega karena ternyata ada juga pelanggan yang tidak bertele-tele dan mempertanyakan ini itu.

[“…”]

Rio memulainya dengan dialog kosong, sebelum kemudian membalik lembaran itu menuju ke halaman selanjutnya, terus menerus, hingga pada halaman terakhir.

Visha tersenyum. Ia tahu masalah apa yang sedang dihadapi Rio hanya dengan melihat lembaran-lembaran itu. Tidak berlama-lama, ia mendekati kursi hitam besar yang Rio yakin bahwa pasti ada seorang laki-laki disitu. Dan benar saja, kursi hitam itu berbalik dan menghadap ke arah Rio setelah Visha membisikkan sesuatu ke laki-laki itu.

“Beliau adalah manajer Ecnahc Dnoces, Xeon.” Tanpa diminta, Visha memperkenalkan Xeon pada Rio.

“Apakah Anda yakin dengan permintaan Anda?” tanya Xeon tanpa mempedulikan perkenalan itu dan langsung pada inti dari pembicaraan.

[“…Aku tidak pernah seyakin ini. Aku tidak peduli kalau kau menusukku dengan tatapanmu itu asalkan kita sepakat dengan tawaran itu.”]

Bagi Rio, tidak ada kesedihan yang belum ia rasakan. Semuanya sudah seperti makanan sehari-harinya, hingga pada tingkatan ia merasa mual dengan kebasian kesedihan itu. Tatapan tajam hanyalah debu saja di mata Rio.

“Orang bodoh dan pengecut sepertimu lah yang selalu memberikan tawaran yang seperti ini. Tapi aku bahkan tidak peduli. Tawaranmu menarik hingga aku tidak sedetikpun memikirkan siapa dirimu,” ucap Xeon sambil menatap lekat kedalam mata Rio.

[“…Bagus bila demikian, aku pun tidak peduli dengan pendapatmu. Bisa kita mulai sekarang?”]

“Hmmm... sikap yang menarik. Lebih baik secepatnya kita selesaikan transaksi ini, setelah itu enyalah dari sini. Visha!”

“Yap, saya sudah siapkan,” jawab Visha dengan santainya.

[“….Bagaimana kita akan melakukannya?”] Setelah mengisi dan menandatangani formulir, Rio pun sebenarnya penasaran. Sikap Xeon nyata dan tidak dibuat-buat, membuatnya lebih yakin tentang kekuatan tempat ini.

“Maafkan sikap Bos, beliau memang seperti itu. Tapi saya rasa, Anda cukup berani mengambil resiko dengan merubah hidup Anda. Keputusan Anda sendiri itu saja sudah cukup membuat Anda tampak hebat. Ya, saya rasa Anda memang benar-benar hebat,” kata Visha sembari mengambil sebuah bola kaca sebesar kepalan tangan yang berwarna biru menyala, seperti memiliki lampu di dalamnya.

Mendengar itu, mata Rio terbuka lebar. Ini kali pertamanya seseorang memandangnya berbeda. Pada umumnya, semua orang akan meresponnya sama persis seperti Xeon. Tapi…Visha berbeda. Entah mengapa Rio merasa cukup senang meskipun sedikit.

[“…Aku tidak memerlukan simpatimu, tapi…terima kasih.”]

“Anggap saja sebagai salam perpisahan dari saya. Nah, ada pesan-pesan terakhir? Maaf bila terdengar aneh, hehe.”

[“…Tidak ada. Kalaupun ada aku akan mengatakan, ‘Akan berbeda akhirnya jika aku bertemu denganmu lebih cepat, Visha’. Oh ya, nama asliku adalah Andrio, aku harap kau selalu mengingatnya.”]

Rio memandang beda Visha. Cukup jarang ia menemukan orang seperti Visha, terlebih dia adalah wanita. Mungkin tidak bisa mencairkan hatinya, tapi setidaknya Rio sejenak merasakan hangat. Meski itu hanyalah layanan ramah untuk seorang pelanggan, tapi Rio merasa itu sudah cukup menyenangkan. Jadi, memberikan nama aslinya adalah hal yang bisa dilakukannya untuk Visha saat ini, dan mungkin memang hanya itu hingga akhirnya.

“Saya tersanjung. Hum! Saya pasti akan selalu mengingatnya, pasti. Dan untuk yang terakhir, Anda sudah siap?”

Akhirnya Rio tersenyum lepas. Tidak ada penyesalan lagi yang ia rasakan. Keputusannya itu adalah hal yang ia rasa paling baik. Jadi, menghembuskan nafas panjang, ia menulis.

[“…Tidak perlu kau tanyakan lagi.”]

“Selamat tinggal, Andrio.”

Dengan salam perpisahan itu, Visha mengeluarkan cahaya terang dari kedua matanya, sangat terang hingga membuat seakan ada matahari baru di ruangan itu. Rio pun seakan hampir buta karena cahaya itu hingga pada akhirnya, ia mulai mengantuk dan akhirnya tidak sadarkan diri.

[“…….”]

Tidak lama, Rio membuka matanya. Ia terkejut melihat apa yang ada di sekelilingnya. Taman bunga yang cantik dan subur dengan air mancur yang tidak begitu besar namun indah, menciptakan pelangi kecil di atasnya. Beberapa meter dari air mancur, berdiri rumah bercat putih dengan hiasan bunga dan kaca pada lantai dan dinding-dindingnya. Seperti baru, rumah itu seperti sengaja disediakan untuk Rio seorang.

Aku pulang, pikir Rio.

Berlarian di taman bunga, Rio mengejar kupu-kupu layaknya anak anjing. Mengumpulkan beberapa bunga dan mencium wanginya. Tidak hanya itu, ia juga membuat mahkota dengan bunga-bunga itu. Satu, dua, ia membuat beberapa mahkota meskipun hanya ia saja yang ada di taman itu. Namun karena suasana dan keceriaan yang ia rasakan, itu semua tidak masalah untuknya.

Sinar di mata Rio hidup kembali.

Lelah bermain di taman, Rio merasa haus. Ia mendekati air mancur dan baru menyadari bahwa yang ada disana bukanlah air melainkan susu. Dengan cepat Rio meminum air susu itu seakan nyawanya akan terselamatkan bila bisa meminum satu tetes air susu itu saja. Seperti bayi, Rio tidak berhenti minum sebelum ia kenyang.

Setelah lama sibuk meminum air susu, Rio melirik ke arah bagian atas dinding rumah putih miliknya itu. Ada sebuah jam besar yang tergantung disana. Pukul tujuh lewat dua puluh lima menit, sial, aku terlambat sekolah! Pikir Rio.

Rio pun berlari ke jalan dan akhirnya mendapati dirinya sudah berada di dalam kelas mengenakan seragam sekolah. Dilihatnya semua teman-temannya sudah duduk di kursi masing-masing dan seorang guru yang sedang menjelaskan bagaimana cara menggambar dengan prespektif tiga titik mata.

Rio dengan senang hati mendengarkan pelajaran itu karena menggambar, adalah hobinya. Ketika sesi menggambar bebas dimulai, Rio tidak berpikir lama dan segera mengeluarkan buku gambar coklat tebalnya yang sudah lama ia miliki. Membuka lembaran baru, Rio mencoba menggambar pemandangan taman bunga dan rumahnya tadi beserta air mancur susu. Namun Rio berhenti saat ia merasakan ada seseorang yang memandangnya sejak tadi.

Rio menoleh, menemukan seorang cewek manis yang mirip seperti Visha. Cewek itu adalah teman sekelasnya yang kemudian malu-malu mendekatinya dan berkata, “Kau hebat dalam menggambar. Bisa ajari aku?”

Rio tersenyum lebar dan mengangguk.

Menggambar adalah hidup Rio. Ia bisa menciptakan dan menghapus sesuatu sesukanya. Ketika ia menginginkan ini, ia tinggal menggambarnya saja. Ketika ia tidak menginginkan itu, ia tinggal menghapusnya saja. Itu tidak sulit karena Rio sudah terbiasa menggambar sejak kecil. Jadi, menggunakan kemampuannya untuk mendekatkan diri pada salah satu teman cewek adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu Rio.

Tersenyum, tertawa, suasana hangat tercipta di antara mereka. Jika ingin digambarkan, mereka seperti sepasang burung merpati yang hinggap di lonceng pada sebuah gereja. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka berdua, kecuali waktu.

Meski sedih dan sepi, Rio terpaksa melepasnya untuk hari ini. Toh mereka pasti akan bertemu lagi keesokan harinya, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Ya, mereka bisa terus bersama-sama hingga sekolah selesai dan akan terus bersama-sama bila mereka masih saling bertemu di masa depan.

Ya, masa depan dimana mereka mengucapkan janji sakral di upacara yang sudah ditunggu-tunggu Rio sejak lama. Dipeluknya dengan erat istri pertamanya itu, seakan Rio ingin selalu melekat erat dengan istrinya. Tidak ingin berpisah, Rio selalu melakukan yang terbaik untuk keluarga barunya itu. Menciptakan semua hal yang akan terus bisa membuat mereka selalu bersama-sama.

Hingga masa tua datang, Rio dan istrinya masih tetap bersama. Mereka duduk di beranda dengan tangan yang saling menggenggam. Menikmati suasana taman di sore hari dengan warna oranye yang terus memerah di langit. Menikmati sejuknya angin menjelang malam dan dihiasi oleh hangat genggaman tangan sang istri.

Tidak ada yang bisa menggantikan saat-saat itu. Tidak ada, sekalipun sesuatu memaksanya untuk membalikkan badan dari istrinya, karena ia yakin, istrinya akan selalu berada di sisinya, selamanya. Selama mungkin waktu yang bisa mereka lalui, selama mungkin musim yang bisa mereka rasakan. Berganti, berulang-ulang, dan kembali lagi seperti semula. Begitu terus sampai pada nafas terakhir Rio yang hanya bisa ia hembuskan.

Akhir hidup Rio sudah dekat.

Rio tidak memiliki penyesalan sama sekali. Bahkan ia sangat bersyukur dapat menjalani kehidupannya seindah ini. Memiliki istri yang selalu ada di sampingnya bahkan saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kebahagiaan yang luar biasa indah, tidak ada orang yang akan mengeluh lagi, tidak terkecuali Rio. Karena memang sudah jelas, semua itu memang sulit untuk didapatkan kecuali melalui mimpi. Akan sangat mudah kita mendapatkan sesuatu melalui mimpi.

Dan itu….adalah mimpi Rio.

“Ah, dia terlihat begitu bahagia,” ucap Visha dengan suara yang lembut karena terbawa suasana melihat senyum Rio yang lebar.

“….”

“Tapi sayang sekali itu tidak berlangsung lama.” Sekejap ekspresi Visha berubah. Alisnya mengerut dan bedaknya luntur karena air matanya yang mulai mengalir.

“Kau salah. Tidak untuk kita, namun untuknya, dia memiliki waktu yang sama seperti yang ada di dunia ini. Dua detik di dunia ini adalah satu tahun di dunianya. Jadi, simpatimu hanya sia-sia belaka.” kata Xeon dengan wajah datar dan nada yang terdengar datar pula.

Melihat bosnya seperti itu, Visha hanya diam saja dan mulai membereskan meja kantor Xeon.

“Waktunya sudah selesai, jiwanya sudah pergi ketempat yang tidak mungkin bisa di capai, bahkan olehku. Lebih baik kau bereskan tubuh itu dan bawa ke ruang yng ada disana. Aku sudah mempersiapkan segalanya disana,” perintah Xeon dengan nada datar.

“Hmmm... Oke Bos,” jawab Visha menurut. Visha kemudian mendorong kursi roda yang Rio duduki ke arah pintu yang ditunjuk Xeon.

Visha hanya bisa mengerutkan alis, merasa kasihan pada Rio. Rio masih bernafas dan tersenyum lebar, seakan itulah ekspresi yang dimilikinya dari awal. Ia terlampau bahagia dalam mimpinya. Tidak ada penyesalan yang tergambar di raut wajahnya itu, membuat Visha merasa sedikit lega.

Secara fisik Rio masih hidup, bahkan hingga ia dimasukkan ke dalam ruang itui. Namun jiwanya tidak ada disana, bahkan di dunia ini. Jiwanya tinggal di dalam mimpinya yang sudah ia lukis sejak lama di buku coklat tebalnya itu. Seperti sebuah cerita yang hanya bergambar saja, Visha bisa mengetahui cerita dari lukisan itu hanya dengan melihatnya saja.

Dari awal saat Rio berada di taman bunga hingga Rio menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyuman lebar, Visha mengetahui alur cerita gambar itu. Sebelumnya, ia tidak mengerti apa yang diinginkan Rio dari Ecnahc Dnoces ini melihat hanya gambar-gambar saja yang ditunjukkan oleh Rio. Hingga pada akhirnya di halaman terakhir, Rio menuliskan keinginannya.

[“….Ambil ragaku sesukamu dan sebagai gantinya, bawa jiwaku ke dalam mimpi-mimpiku ini selamanya. Karena disitulah duniaku yang sebenarnya, dunia dimana aku bahagia.”]



ARC BERAKHIR

Friday, March 17, 2017

Ecnahc Dnoces: How I Meet Him For The First Time


Paris, Perancis, 1787...

“Perempuan jelek! Merusak pemandangan saja! Pergi sana dan jangan kembali lagi!”
Teriakan terdengar dari arah sebuah bar kumuh di pinggiran kota Paris. Seorang gadis berpakaian lusuh terlempar keluar dari pintu bangunan itu, terjerambab di tanah yang berdebu. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya bertubuh gemuk keluar dari bar, berkacak pinggang memandangi gadis itu dengan tatapan jijik. Pria itu meludah sebelum berbalik kembali ke dalam bar.

Orang-orang yang kebetulan lewat hanya menonton pemandangan itu sambil berbisik-bisik. Mereka hanya melihat sekilas ke arah gadis itu kemudian memalingkan muka dan berjalan kembali seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tak seorangpun yang berniat menolongnya.

Gadis itu berdiri dan dengan tenang menepuk-nepuk pakaian dan rambut coklatnya yang kotor. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan orang-orang itu. Justru kalau ada orang yang bersedia menolongnya, orang itu pastilah punya maksud lain.

Namanya Marie Anne. Sebuah nama yang cukup indah, sebenarnya. Marie memiliki tubuh yang tak terlalu jelek, tingginya juga cukup proporsional. Rambut coklatnya yang panjang dan berombak juga akan menjadi amat indah bila dirawat dengan baik. Sayang, kemiskinan membuatnya tak punya waktu maupun biaya untuk merawat diri, karena untuk bisa makan hari ini saja masih menjadi sebuah tanda tanya besar.

Yang membuat orang-orang bersikap dingin adalah wajahnya. Mungkin bila Marie berwajah cantik, akan ada satu – mungkin banyak – orang yang bersedia menolongnya. Bisa jadi malah seorang Bangsawan tertarik padanya dan membuatnya menjadi seorang putri, seperti dalam dongeng yang dulu sering diceritakan oleh ibunya yang kini sudah berada di langit. Atau sebagai wanita simpanan juga tak terlalu buruk, yang penting dirinya tak perlu berkeliaran di jalan dengan perut kosong. Tapi tidak, impian indah seperti itu hanyalah milik gadis-gadis berwajah jelita, sedangkan Marie Anne, tak bisa dikatakan jelita.

Hidungnya terlalu besar untuk wajahnya. Rahang bawahnya terlalu maju. Wajahnya dipenuhi bopeng bekas cacar air dan sebuah tanda lahir berwarna biru berukuran besar menghiasi pipi kanannya. Mulutnya miring ke kanan, membuatnya senantiasa memasang ekspresi mengejek meski dia sendiri tak bermaksud seperti itu.

Menengadah untuk menatap poster lusuh Istana Versailles yang menempel di tembok, Marie Anne mencibir, berpikir betapa tak adilnya kehidupan ini. Namanya hampir sama dengan sang Ratu Perancis, Marie Antoinette. Tapi nasibnya amatlah bertolak belakang. Bila sang Ratu sejak lahir sudah tinggal di istana dan dilayani oleh ratusan pelayan, dia seumur hidup menggelandang di jalan dan harus bekerja membanting tulang seharian agar bisa makan untuk hari itu. Bila sang Ratu setiap saat bisa mengenakan pakaian indah; Marie Anne hanya memiliki sebuah baju lusuh yang dikenakannya tiap hari. Bila sang Ratu bisa memakan makanan mewah, bahkan berpesta pora setiap saat; sepotong roti keras dan air putih pun sudah patut disyukurinya dalam kondisi resesi seperti saat ini.

Ya, gelandangan dan orang-orang yang terlantar sudah menjadi pemandangan umum di seluruh penjuru kota. Pencurian hingga pembunuhan demi memperebutkan sepotong roti sudah menjadi hal yang lumrah. Wanita-wanita yang memiliki modal wajah cantik dan tubuh molek tak segan untuk melacur demi mengisi perut.

Sementara para bangsawan dan tuan tanah hidup mewah, orang-orang kaum bawah dibebani oleh pajak yang tinggi. Para penghuni istana, yang seharusnya bertanggung jawab dengan kehidupan rakyat justru terlena dalam pesta pora yang menguras perbendaharaan negara. Dan untuk menutup kekurangan dana, pajak makin ditinggikan. Sudah tak ada lagi yang namanya keadilan.

Meringkuk di sudut sebuah gang sempit, Marie Anne mengutuki nasibnya sendiri. Kenapa dirinya terlahir di keluarga miskin? Kenapa dirinya terlahir dengan wajah buruk? Bila memang di dunia ini ada sosok Mahakuasa dan Mahatahu yang disebut Tuhan, di mana Dia? Para pendeta gereja sering berkhotbah tentang sosok itu, tapi nyatanya, ‘kasih Tuhan’ yang mereka gembar-gemborkan amat sangat tidak adil. Kasih-Nya itu hanya untuk orang-orang kelas atas, dan tentu saja, para pendeta berperut besar itu!

Marie Anne mencengkeram lambungnya yang terasa makin melilit. Entah sudah berapa hari perutnya hanya diisi air sungai. Sudah tak ada lagi yang sudi mempekerjakannya meski bayaran yang dimintanya hanya sepotong roti. Dia tak bisa menyalahkan mereka. Tahun ini panen tak terlalu bagus dan semua orang harus berhemat untuk memberi makan diri dan keluarga mereka sendiri. Sudah tak ada lagi yang tersisa untuk diberikan pada orang lain.

Menengadah menatap angkasa, Marie Anne tersenyum miris dan membatin, ‘Jadi begini akhir hidupku? Mati kelaparan tanpa seorangpun yang peduli? Ah, sudahlah. Setidaknya kematian akan mengakhiri semua ini.’ Tak ada air mata yang mengalir dari kedua bola mata birunya. Air matanya itu sudah kering saat dulu menangisi sang ibu yang meninggal akibat wabah. Sudah habis untuk meratapi sang ayah yang pergi entah ke mana. Dan dalam kondisi perut kosong, gadis itupun tertidur.

_________________***_________________

Ketika membuka matanya, Marie Anne berhadapan dengan pintu depan sebuah bangunan megah, bukannya dinding gang yang sempit dan kotor. Temboknya terbuat dari batu berwarna kelabu dan pintu kayunya yang berpelitur mengkilap dicat dengan warna hitam. Ukiran-ukiran dan mozaik yang tampak rumit menghiasi permukaan pintu dan dinding di sekelilingnya. Sebuah papan yang tulisannya tak bisa dibaca oleh Marie Anne yang buta huruf terpasang mencolok tepat di atas pintu.

Melihatnya, gadis itu merasa kalau dirinya sudah berada di alam lain. Bagaimana tidak, bangunan megah semacam itu tak mungkin ada di sudut kota kumuh tempatnya tinggal. Lagipula arsitektur bangunannya – meski Marie Anne tak tahu apa-apa mengenai arsitektur – amat berbeda dengan bangunan-bangunan lain. Bangunan itu tampak begitu menonjol dan mengundang.

Berdiri dengan sepasang kakinya yang lemas, Marie Anne berjalan tertatih-tatih menuju bangunan itu. Tangannya terulur meraih gagang pintu yang berwarna kuning berkilau – entah emas murni atau hanya sepuhan – dan mendorongnya. Bel berdenting merdu saat pintu itu terbuka.

“Permisi...” bisik Marie Anne ragu-ragu. Entah tadi kekuatan apa yang memberinya keberanian untuk melangkahkan kaki ke dalam bangunan ini, tapi yang pasti dirinya sama sekali tak merasa takut. Apa yang perlu ditakutkannya? Hal terburuk yang bisa terjadi pada dirinya adalah kematian dan itu mungkin justru dinantikannya.

Mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, Marie Anne mendapati dirinya berdiri di dalam sebuah ruang tamu berukuran sedang. Lantainya terbuat dari keramik hitam mengkilap yang elegan. Sebuah jam antik setinggi dua meter berdiri megah di dinding, di sebelahnya terdapat sebuah lemari kaca besar berisi buku dan entah apa lagi. Di langit-langit terdapat kandelir kristal yang berkilauan. Satu sisi dindingnya ditutupi oleh kelambu tebal berwarna ungu untuk memisahkan ruangan ini dengan bagian lain bangunan. Satu set sofa berwarna merah marun terpasang memutar di salah satu sudut ruangan, tampak nyaman dan mengundang untuk diduduki.

Tapi yang menjadi perhatian Marie Anne bukanlah seberapa mewah perabot-perabot itu. Yang langsung menariknya adalah aroma yang berasal dari meja kaca setinggi lutut yang terletak di tengah tatanan sofa-sofa merah itu. Di atas meja itu terdapat pinggan berisi beragam kue dan makanan ringan. Di dekatnya terdapat beberapa cangkir teh yang masih mengepulkan uap. Aroma kue dan teh menguar dan menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

Perut gadis itu langsung bergemuruh dan tanpa pikir panjang dia langsung menyerbunya, menjejalkan kue-kue itu ke dalam mulutnya. Dengan rakus mengunyah dan menelan sekuat mulutnya sanggup menampung. Hanya bunyi jam antik yang menemani suara kunyahannya.

“Makanlah pelan-pelan. Tak ada untungnya kalau klienku mati tersedak sebelum sempat melakukan transaksi.” Sebuah suara pria – datar dan dingin – terdengar dari arah belakang Marie Anne.

Suara itu membuat jantung Marie Anne melompat dan membuatnya benar-benar tersedak. Terbatuk-batuk sambil memuntahkan remah-remah makanan yang belum sempat ditelannya, gadis itu meraih cangkir teh kemudian menyeruput isinya, menggunakan cairan panas itu untuk mendorong masuk makanan ke dalam tenggorokannya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berbicara.

Saat itulah dilihatnya seorang pria duduk menyandar di sebuah sofa tinggi berwarna hitam di belakang meja kerja berukuran besar. Wajahnya tampan dengan hidung mancung dan tulang pipi tinggi khas seorang bangsawan. Rambutnya hitam berkilau, kontras dengan kulitnya yang pucat, disisir rapi ke belakang. Usianya sulit untuk diterka, tapi yang jelas, pria berbaju serba hitam ini tak.memiliki sedikitpun kerutan di wajahnya. Secara keseluruhan, penampilannya seperti patung pualam yang diukir dengan tangan terampil seorang pematung ahli.

Jantung Marie Anne berdebar kencang. Gadis itu sama sekali tak menyadari kehadiran pria itu ataupun keberadaan sofa hitam dan meja kerja yang ditempatinya. ‘Mungkin aku tak memperhatikannya karena terlalu sibuk makan,” batinnya.

Memikirkan hal itu, Marie Anne merasa wajahnya memanas. Bagaimanapun, dia telah masuk ke dalam rumah orang tanpa diundang dan memakan makanan si empunya rumah tanpa dipersilakan.

“Aa... maa... maafkan saya. Saya tak bermaksud bersikap lancang. Sa... saya hanya...” ujarnya dengan suara terbata-bata. Otaknya kosong karena dikuasai oleh rasa panik.

“Bukan masalah. Itu hanya makanan kecil yang tak masuk hitungan,” jawab pria itu dengan nada dingin dan datar yang sama. Raut wajahnya tak berubah, hanya bibirnya yang bergerak. “Habiskan saja. Kalau kurang ambil sendiri di dalam lemari itu. Makanlah sampai kenyang. Waktuku tak terbatas,” ujarnya sambil menuding ke arah lemari kayu berukuran sedang.

Marie Anne ternganga mendengar ucapan itu. Pemilik rumah ini tak peduli dengan sikap lancangnya dan malah menawarinya tambahan makanan? Diliriknya kembali makanan yang tadi dimakannya dengan rakus dan diperhatikannya baik-baik. Jantungnya kembali mencelos.

Saking laparnya, Marie Anne tak menyadari kalau dirinya baru saja memakan jenis makanan yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh para penghuni Versailles. Makanan yang bahkan tak berani diimpikannya. Dan dia baru saja menelannya seperti babi yang melahap sisa sayuran dengan rakus!

Menelan ludahnya dan kembali meneguk teh yang hanya pernah dia cium wanginya saat melewati rumah orang-orang kaya, Marie Anne membatin, ‘Orang macam apa yang pada masa sulit seperti ini bisa dengan tenangnya memberi makan seorang gadis pengemis buruk rupa dengan makanan mewah? Lagipula tadi dia mengatakan kalau waktunya tak terbatas. Apa maksudnya?’

Marie Anne menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. Yang ditatap hanya balas menatapnya dengan kedua bola mata yang seperti langit malam, dingin sekaligus dalam tanpa batas. Dan saat itulah Marie Anne menyadari kalau pria ini berbeda. Orang ini sama sekali tak berjengit apalagi tampak jijik saat melihat dirinya. Sebuah perasaan hangat yang aneh timbul dari dadanya.

Entah sudah berapa lama keduanya hanya saling pandang seperti itu sebelum akhirnya pria itu mengangkat sebelah alisnya dan berkata, “Nona, sampai kapan kau mau memandangiku seperti ini? Meski aku bilang waktuku tak terbatas, waktumu tetap saja terbatas. Makanlah, kalau sudah kita mulai transaksinya.”

Teguran itu menyadarkan Marie Anne. Rasa laparnya sudah lenyap entah ke mana, digantikan oleh keingintahuan. Buru-buru dia berdiri tegak, mengibaskan debu dari pakaiannya dan merapikan diri sebisanya, kemudian tersenyum, berharap senyumannya itu tak membuat wajah buruknya malah tambah mengerikan. Sambil menekuk lutut dan mengangkat sedikit sisi roknya dengan gaya resmi yang sering dilihatnya dilakukan oleh para wanita bangsawan, Marie Anne berujar, “Terima kasih atas kebaikan Anda, Tuan. Makanan Anda sungguh luar biasa dan saya tak tahu bagaimana harus membayarnya…”

Sambil lalu pria itu melambaikan tangannya. “Tak perlu berterima kasih segala. Sudah kubilang kalau makanan itu tak masuk hitungan.” Pria itu meluruskan punggungnya, melipat tangannya di atas meja, dan menelengkan kepala, “Jadi bisa kita mulai transaksinya?”

“Transaksi?” tanya Marie Anne semakin bingung. Bila makanan tadi dikatakan tak masuk hitungan, jadi apa yang akan ditransaksikan? Dia tak punya sesuatu yang cukup berharga sebagai bahan transaksi.

Saat menyadari kebingungan Marie Anne, pria itu memutar matanya ke atas, bosan. “Tentu saja. Apa Nona tidak membaca papan nama di depan? Jadi Nona masuk ke sini tanpa tahu tempat apa ini?”

Marie Anne menggeleng, wajahnya memerah. “Sa… saya tak bisa membaca…”

Pria itu bergumam, “Jadi di masa ini, kemampuan baca tulis hanya diajarkan pada orang mampu…” Kemudian dia berdeham dan berkata, “Baiklah, aku tak ingin banyak basa-basi,” sambil menatap Marie Anne dalam-dalam. “Sekarang kau berada di dalam Ecnahc Dnoces. Namaku Xeon, aku manajer di tempat ini.”

“Ecnahc Dnoces? Sa… saya tak pernah mendengar ada tempat seperti ini…”

“Karena tempat ini bukanlah tempat biasa. Orang biasa takkan bisa melihat apalagi masuk ke dalamnya. Tempat ini hanya akan muncul di hadapan orang yang memiliki keinginan kuat, karena tugas tempat ini adalah mengabulkan keinginan. Apa saja. Asalkan, layaknya sebuah pertukaran, kau memberikan nilai yang sesuai.”

‘Mengabulkan keinginan? Apa saja? Yang benar saja! Tapi bukannya kemunculan tempat ini juga cukup aneh? Aku ingat jelas kalau sebelumnya memang tak ada tempat seperti ini…’ batin Marie Anne.

Seperti bisa membaca keraguan Marie Anne, pria bernama Xeon itu menunjuk ke arah pintu dan berkata, “Kalau Nona tak berminat mengadakan transaksi, tak masalah. Pintu keluar ada di sebelah sana. Nona bisa melanjutkan hidup Nona seperti sediakala. Sayang sekali Anda telah melewatkan kesempatan ini.”

Marie Anne terpana. Tak yakin apakah ini mimpi atau kenyataan, gadis itu akhirnya memutuskan untuk mencoba peruntungannya. Setidaknya, bila ternyata semua ini hanya kebohongan, dia takkan rugi. Matipun, dia akan mati dengan perut kenyang. “Ah, tadi Tuan bilang saya bisa minta apa saja?”

Xeon mengangguk. “Apa saja. Asal bayarannya sesuai.”

“Ta… tapi saya tak punya apapun. Apa yang bisa saya berikan sebagai bayaran?”

“Siapa bilang Nona tak punya apapun?” tanya Xeon sambil mengamati Marie Anne dengan seksama. “Nona punya organ tubuh, kecerdasan, suara, pendengaran, dan berbagai hal lain yang bisa ditukarkan.”

‘Organ tubuh? Kecerdasan? Astaga, tempat macam ini sebenarnya? Tapi kalau benar bisa memberikan hal-hal seperti itu untuk sesuatu yang kuinginkan, apa salahnya?’ batin Marie Anne.

Terdiam cukup lama untuk mempertimbangkan segala kemungkinan, akhirnya gadis itu mengambil sebuah keputusan. “Kalau begitu, berikan saya kecantikan. Saya ingin memiliki wajah yang bisa membuat semua pria bertekuk lutut di hadapan saya. Saya ingin menjadi seperti sang Ratu,” ujarnya dengan napas memburu. Ya, selama ini semua orang menganggap rendah dirinya karena wajahnya yang buruk. Betapa inginnya Marie Anne melihat orang-orang yang dulu menghinanya berubah jadi pemujanya!

“Wajah cantik? Itu mudah. Aku bisa memberimu kecantikan yang akan membuat sang Ratu iri,” jawab Xeon sembari mengamati Marie Anne. “Sebagai gantinya... Begini saja, aku ingin kau memberikan kebebasan dan pengabdianmu.”

“Pengabdianku?” tanya Marie Anne dengan mata terbelalak.

“Begitulah. Dengan memberikan pengabdianmu, kau akan terikat dengan tempat ini dan harus berpisah dengan dunia tempatmu tinggal. Dan itu berarti selamanya karena Ecnahc Dnoces tak mengenal batasan waktu dan tempat.”

“Ta... tapi...”

“Bukankah di duniamu kau tak memiliki siapapun dan apapun yang membuatmu tak rela untuk meninggalkannya? Jadi apa yang membuatmu ragu? Di sini, kau akan memiliki kemudaan dan kecantikan yang takkan pudar oleh waktu. Kau juga takkan mati asalkan tak melanggar aturan yang aku tetapkan.”

“Kemudaan dan kecantikan abadi? Benarkah? Tapi maksud pengabdian itu apa berarti aku akan terkurung di tempat ini selamanya?”

Sudut bibir Xeon sedikit terangkat. Gerakan kecil itu telah membuat sebuah perubahan yang amat besar di wajahnya. Yah, setidaknya begitulah dalam pandangan Marie Anne. “Aku tak bilang kau akan terkurung di dalam tempat ini. Maksudku adalah kau akan bekerja untuk Ecnahc Dnoces ini sebagai asistenku.”

Pria itu berdiri dan mengembangkan tangannya dalam gerakan pelan. “Lihatlah, tempat ini begitu besar dan aku harus mengurusnya sendiri. Aku harus menemui klien dan segala macam hal merepotkan yang memerlukan basa basi. Aku tak menyukainya. Karena itu aku membutuhkan asisten yang lebih pandai bicara untuk menarik klien.”

Marie Anne mengerjapkan matanya. Baru kali ini ada orang yang mengatakan kalau dirinya dibutuhkan. “Jadi pekerjaan saya adalah menarik dan merayu klien ke dalam tempat ini? Tapi saya kan...”

“Bukankah kau akan memiliki wajah yang luar biasa cantik? Jadi kurasa itu takkan sulit untukmu,” sela Xeon sambil menatap mata Marie Anne dalam-dalam. “Dan untuk itu kau bisa keluar dari bangunan ini, pergi ke manapun dan kapanpun untuk menemui berbagai macam orang.”

Kemudian pria itu tersenyum lembut, sebuah senyuman yang membuat jantung Marie Anne berhenti. Itu saja sudah cukup baginya untuk melakukan apa saja bagi sang manajer Ecnahc Dnoces ini. “Dan kau takkan pernah kelaparan lagi,” tambahnya.

“Kau tak perlu memikirkan itu,” ujarnya, masih dengan wajah tanpa ekspresi. “Yang perlu kau kaulakukan adalah menjawab, bersedia atau tidak,” sambungnya dengan nada final.

Dengan pertanyaan itu, akhirnya Marie Anne pun membuat keputusan. “Saya setuju!”

Begitu Marie Anne mengatakan persetujuannya, Xeon melambaikan tangan dan dari udara kosong muncul sehelai kertas tebal yang tampak resmi di tangannya. “Ini adalah surat perjanjianmu. Wajah cantik dan kemudaan abadi ditukar dengan pengabdian selamanya. Berikan cap jarimu,” ujarnya sambil mengangsurkan sebotol tinta ke hadapan gadis itu.

Marie Anne terpana, tak percaya dengan keberuntungannya. Segera dia mencelupkan ibu jari ke dalam botol tinta dan menempelkannya ke tempat yang ditunjuk oleh Xeon. Begitu selesai, kertas dan botol tinta itu menghilang begitu saja dari tangan sang manajer.

Akex mengulurkan telapak tangannya ke wajah Marie Anne dan seberkas cahaya muncul dari tangan itu. belum sempat gadis itu menelaah apa yang terjadi, sang manajer berkata, “Sudah selesai. Lihatlah wajahmu di cermin.” Entah dari mana, kini di tangan pria itu tergenggam sebuah cermin tangan dengan hiasan rumit di sekelilingnya.

Dengan jantung berdebar Marie Anne menerima cermin itu dan melihat wajahnya sendiri. Gadis itupun terpana. Wajah yang muncul di permukaan cermin jelas tak seperti wajahnya. Semua bopeng dan tanda lahir yang mengerikan di wajahnya menghilang, meninggalkan sebentuk wajah yang bersih dan mulus. Hidungnya yang dulu besar sekarang proporsional, amat sesuai dengan bentuk wajahnya. Rahangnya normal dan bibirnya yang dulu miring sekarang tampak mempesona. Yang masih sama hanya mata birunya, satu-satunya hal yang sejak dulu disukai Marie Anne dari wajahnya yang buruk. Gemetaran, Marie Anne meraba wajahnya sendiri, benar-benar tak bisa mempercayai keajaiban ini.

“Bagaimana? Kalau masih kurang memuaskan katakan saja. Oh, aku juga menambahkan pengetahuan ke dalam kepalamu untuk memudahkanmu bekerja membantuku.”

Mendengar hal itu, Marie Anne berjalan ke arah lemari kaca dan mengambil salah satu buku di dalamnya secara acak. Betapa senang gadis itu saat menyadari kalau kali ini dia bisa mengerti arti dari semua huruf yang tertulis di dalamnya. Air matanya menetes. Air mata yang dikiranya sudah lama kering. Tapi kali ini, bukan kesedihan yang membuat cairan itu keluar.

“Terima kasih... saya akan melakukan apa saja untuk Tuan. Apa saja. Karena hanya Tuan yang mau menerima saya di dunia yang tanpa keadilan ini.”

Tanpa diduga, Xeon malah menggeleng. “Belum tentu. Kau merasa kalau hidup ini tidak adil karena terlahir dalam lingkungan masyarakat kelas bawah. Kau merasa iri dengan sang Ratu yang memiliki nama yang hampir sama denganmu. Tapi setelah ini, kau takkan perlu lagi merasa iri. Lihatlah ke dalam cermin.”

Marie Anne menunduk untuk melihat cermin dalam genggaman tangannya. Kali ini yang dilihatnya bukanlah wajahnya sendiri melainkan keadaan kota Paris. Kerusuhan tampak jelas di mana-mana. Rakyat berduyun-duyun menyerbu sebuah bangunan batu yang dikenali Marie Anne sebagai Penjara Bastille.

“Apa yang terjadi? Kenapa bisa ada keributan seperti ini? Kenapa mereka menyerbu Bastille?”

“Ini adalah suasana Paris tanggal 14 Juli 1789. Rakyat yang selalu tertindas akhirnya berontak. Penjara Bastille sebagai lambang kekuasaan Raja diserbu. Raja akan dipaksa memenuhi tuntutan rakyat.”

“Tak mungkin! Aku masih ingat kalau saat ini masih tahun 1787!”

“Jangan lupa kalau Ecnahc Dnoces ini tak mengenal waktu dan tempat. Dengan mudah tempat ini berpindah ke manapun dan kapanpun. Hmm, tampaknya kejadian tanggal 16 Oktober 1793 ini akan membuatmu tertarik.”

Xeon menyapukan tangannya ke permukaan cermin dan pemandangan Penjara Bastille pun berganti dengan gambar kerumunan rakyat yang mengelilingi lapangan eksekusi. Semua orang berteriak-teriak ganas sambil mengacungkan kepalan tangan. Di tengah lapangan eksekusi, seorang wanita cantik berpakaian compang-camping dibaringkan ke kursi guilotin dengan kepala dijulurkan ke bawah pisau. Marie Anne bisa mengenali siapa wanita itu dan langsung memalingkan wajah, tak sanggup melihat adegan selanjutnya.

“Mustahil... kenapa sang Ratu bisa berada di...”

“Dulu ada seorang gadis bodoh yang memohon untuk menjadi seorang ratu, menjadi wanita yang dipuja-puja semua orang. Dia menukarnya dengan jangka hidupnya sendiri.” jawab Xeon dingin. “Yah, pada akhirnya manusia akan membuat keadilannya sendiri.”

Marie Anne tertegun.

“Karena kau sudah memberikan pengabdianmu, kurasa nama Marie Anne juga sudah tak bisa digunakan. Kalau kau masih ingin mempertahankannya tak masalah, tapi apa kau masih mau memiliki nama yang sama dengan wanita di bawah guilotin itu?”

Dengan wajah pucat Marie Anne menggeleng. “Saya tak mau nama ini lagi. Berikan saya nama baru.”

Xeon berjalan mondar-mandir di hadapan gadis itu dan akhirnya berkata, “Kalau begitu namamu sekarang adalah Visha. Bagaimana menurutmu?”

Tersenyum cerah dengan wajahnya yang baru, gadis itu menyahut, “Marie Anne sudah tak ada lagi. Aku adalah Visha, asisten Xeon. Selamanya.”

Xeon mengulurkan tangannya dan menjabat tangan gadis yang kini bernama Visha itu. “Selamat bergabung di Ecnahc Dnoces, Visha.”

Begitu tangan mereka bersentuhan, kontrak abadi mereka pun terjalin.




__________________________***___________________________

 Ecnahc Dnoces, dalam lingkup ruang dan waktu yang tak diketahui...

"Hey, kenapa pelanggan kita memiliki bentuk dan penampilan berbeda-beda? Ah, yang barusan itu membuatku terkejut!" celoteh Visha.

Xeon menoleh  ke arah Visha, lalu berkata dengan nada datar, “Yap, karena mereka berasal dari planet atau galaksi yang berbeda-beda. Bahkan ada yang berasal dari dimensi lain.”


"Eh?!" Visha terkejut.

"Kenapa? Apa kau lupa kalau tempat ini tak terpengaruh ruang dan waktu."

"Hehehe, yah... mungkin aku hanya belum terbiasa."

Xeon menatap lekat pada Visha sambil melipat tangannya di depan dada, "Sepertinya aku memilih orang yang tepat, Aku baru saja melihat sesuatu yang tak biasa didalam dirimu." Xeon mendekatkan wajahnya kepada wajah Visha dan dia pun tersenyum. Kali ini bukan senyum jahat, tapi senyum itu terlihat begitu tulus.

Entah ingatannya salah atau tidak, namun selama 987 tahun semenjak ia bekerja disini, ini pertama kalinya Visha melihat Xeon tersenyum. Asal kau tahu saja, dia mungkin menjadi satu-satunya makhluk yang pernah melihat senyum tulusnya.





http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html